Rabu, 01 Juli 2020

ASUHAN KEPERAWATAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN ATAS

0

A.   Latar Belakang

Pembangunan kesehatan merupakan salah satu upaya pembanguan nasional untuk mencapai kesadaran dan kemampuan untuk hidup sehat bagi seluruh masyarakat agar tercapainya derajat kesehatan yang optimal, salah satu tantangan terbesar dalam pencapaian tersebut adalah kejadian penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) (Fibrilia, 2015).

Penyakit ISPA dapat menular dengan cepat dan sering menimbulkan dampak besar terhadap kesehatan masyarakat termasuk anak. Menurut WHO diperkirakan insiden Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di negara berkembang mencapai 15 % -20 % pertahun, dengan jumlah balita yang meninggal mencapai ± 13 juta setiap tahun, dimana ISPA merupakan salah satu penyebab utama kematian yang membunuh ± 4 juta balita setiap tahun (Agustina, 2013). Profil Kesehatan Kemenkes pada tahun 2017 menyatakan bahwa ISPA tercatat ada 503.738 kasus pada balita yang didata mulai dari tanggal 31 januari 2017 (Kemenkes, 2017).

  Prevalensi patogen dari ISPA bagian atas disebabkan oleh Rhinovirus/enterovirus yaitu sekitar 25,4%. Pasien yang diteliti oleh Christy dan Christine telah dibagi menjadi beberapa grup umur dan yang paling banyak menderita infeksi saluran pernapasan akut bagian atas adalah anak usia kurang dari sama dengan 2 tahun yaitu sebanyak 558 pasien atau sekitar 43%, lalu diikuti dengan grup usia 3 sampai 6 tahun sebanyak 201 pasien atau sekitar 16% (Haniek, 2015).

Berdasarkan data Puskesmas Sorong Selatan pada tahun 2019 didapatkan bahwa terdapat 597 balita yang dibawa ke Puskesmas Sorong Selatan dengan keluhan Batuk. Terdapat 145 kasus balita yang mengalami gejala pneumonia, 627 kasus batuk bukan pneumonia dan 127 kasus pneumonia dari total 1452 balita di wilayah kerja Puskesmas Sorong Selatan (Puskesmas Sorsel, 2020).

Penyakit ISPA dapat disebabkan oleh virus, bakteri, partikel yang bersifat iritan terhadap saluran pernafasan seperti debu, dan jamur. Virus influenza dan Rhinovirus adalah contoh virus yang dapat menyebabkan ISPA dan Streptococcus pneumonia adalah contoh bakteri yang dapat menyebabkan ISPA. ISPA dapat diderita tanpa gejala berupa  infeksi ringan tetapi dapat pula berupa infeksi berat dan mematikan. Penyakit ISPA diawali dengan panas disertai dengan satu atau lebih gejala: tenggorokan sakit atau nyeri pada saat menelan, pilek, batuk kering atau berdahak. prevalence ISPA dihitung dalam kurun waktu satu bulan terakhir (Kemenkes RI, 2015).

Secara umum ada 3 (tiga) faktor risiko terjadinya ISPA yaitu faktor lingkungan, faktor individu anak, serta faktor perilaku. Faktor lingkungan meliputi pencemaran udara dalam rumah, kondisi fisik rumah, dan kepadatan hunian rumah. Faktor individu anak meliputi umur anak, berat badan lahir, status gizi, vitamin A, dan status imunisasi. Sedangkan faktor perilaku berhubungan dengan pencegahan dan penanggulangan penyakit ISPA pada bayi dan balita dalam hal ini adalah praktek penanganan ISPA di keluarga baik yang dilakukan oleh ibu ataupun anggota keluarga lainnya(Christy, dkk. 2015).

Secara umum efek pencemaran udara terhadap saluran pernafasan dapat menyebabkan pergerakan silia hidung menjadi lambat dan kaku bahkan dapat berhenti sehingga tidak dapat membersihkan saluran pernafasan akibat iritasi oleh bahan pencemar. Produksi lendir akan meningkat sehingga menyebabkan penyempitan saluran pernafasan dan rusaknya sel pembunuh bakteri di saluran pernafasan. Akibat dari hal tersebut akan menyebabkan kesulitan bernafas sehingga benda asing tertarik dan bakteri lain tidak dapat dikeluarkan dari saluran pernafasan, hal ini akan memudahkan terjadinya infeksi saluran pernafasan (Munaya,2015).

Penderita akan mengalami  demam, batuk, dan pilek berulang serta anoreksia, di bagian tonsilitis dan otitis media akan memperlihatkan adanya inflamasi pada tonsil atau telinga tengah dengan jelas. Infeksi akut pada anak jika tidak mendapatkan pengobatan serta perawatan yang baik akan mengakibatkan timbulkan pneumonia yang berlanjut pada kematian karena sepsis yang meluas bahkan berhentinya pernapasan sementara atau apnea. Untuk membantu menangani ketidakefektifan bersihan jalan napas, peran perawat atau tenaga kesehatan ialah mengajarkan klien batuk efektif serta melakukan penghisapan lendir (NANDA,2019).

Dalam menangani ISPA sebaiknya memenuhi kebutuhan dasar menurut Abraham maslow, salah satu kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi adalah oksigenasi (Kartiningrum, 2016). Serta memberi saran untuk anggota keluarga agar tidak merokok di dalam rumah jika memiliki anak kecil. Karena akan menyebabkan anak menjadi perokok pasif dan memudahkan anak terinfekfeksi bakteri serta infeksi pernafasan lainnya (Rusmil, 2015). Dan dari beberapa masalah tersebut perawat mempunyai peran penting  dalam memberikan asuhan keperawatan secara komprehensif terutama promotif, preventif, kuratif dan realibilitas serta secara kolistik yaitu meliputi bio psikososial dan spiritual. Selain memberikan asuhan keperawatan perawat juga dapat memberikan pengetahuan tentang penyakit ISPA kepada klien atau keluarga klien.(Shifa, 2017).



TINJAUAN PUSTAKA

A.   Konsep ISPA

1.     Pengertian ISPA

Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan suatu infeksi yang bersifat akut yang menyerang salah satu atau lebih saluran pernafasan mulai dari hidung sampai alveolus termasuk ( sinus, rongga telinga tengah, pleura) (Depkes, 2011). Djojodibroto (2009) menyebutkan bahwa ISPA dibagi menjadi dua bagian, yaitu infeksi saluran pernafasan bagian atas dan infeksi saluran bagian bawah. Infeksi Saluran Pernafsan Akut mempunyai pengertian sebagai berikut menurut Fillacano (2013) :

a.     Infeksi adalah proses masuknya kuman atau mikroorganisme lainnya ke dalam manusia dan akan berkembang biak sehingga akan menimbulkan gejala suatu penyakit.

b.     Saluran pernafasan adalah suatu saluran yang berfungsi dalam proses respirasi mulai dari hidung hingga alveolus beserta adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah, dan pleura.

c.     Infeksi akut merupakan suatu proses infeksi yang berlangsung sampai 14 hari. Batas 14 hari menunjukan suatu proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat di golongkan ISPA ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari.

2.     Klasifikasi ISPA

a.     Berdasarkan lokasi anatomi

1)  Infeksi saluran pernafasan akut atas

Infeksi saluran pernafasan akut atau merupakan infeksi yang menyerang saluran pernafasan bagian atas (faring). Terdapat beberapa gejala yang ditemukan pada infeksi ini yaitu demam, batuk, sakit tenggorokan, bengkak di wajah, nyeri telinga, ottorhea, dan mastoiditis (parthasarathy, 2013). Beberapa penyakit yang merupakan contoh infeksi saluran pernafasan akut atas yaitu sinusitis, fangitis, dan otitis media akut (ziady and small, 2006).

2)  Infeksi saluran pernafasan bawah

Infeksi saluran pernafasan akut bawah merupakan infeksi yang menyerang saluran pernafasan bagian bawah. Seseorang yang terkena infeksi pada saluran pernafasan bawah biasanya akan ditemukan gejala takipnea, retraksi dada, dan pernafasan wheezing (Parthasarathy (ed), et al, 2013). Beberapa penyakit yang merupakan contoh infeksi saluran pernafasan akut bawah yaitu bronchiolitis, bronchitis akut, dan pneumonia (Zuriyah.2015).

b.  Berdasarkan kelompok umur

1)  Kelompok umur kurang dari 2 bulan

a)  Pneumonia Berat : selain batuk dan atau sukar bernafas, ditemukan nafas cepat (>60 kali/menit) atau tarikan kuat dinding dada bagian bawah ke dalam.

b)  Bukan Pneumonia : hanya ditemukan batuk dan atau sukar bernafas, namun tidak ditemukan nafas cepat (nafas <60 kali/menit) dan tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam.

2)  Kelompok umur 2 bulan - < 5 tahun

a)    Pneumonia Berat : selain batuk dan atau sukar bernafas juga ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (Chest Indrawing)

b)    Pneumonia : tidak ditemukan tarikan dinding dada bawah ke dalam,namun ditemukan nafas cepat sesuai golongan umur (2 bulan - < 1 tahun : 50 kali atau lebih/menit; 1-<5 tahun : 40 kali atau lebih/menit).

c)    Bukan Pneumonia : tidak ditemukan nafas cepat dan tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam, namun hanya ditemukan batuk dan atau sukar bernafas.

3.     Anatomi dan Fisiologi Sistem Pernapasan

a.     Anatomi paru-paru

Paru-paru manusia terletak pada rongga dada, bentuk dari paru- paru adalah berbentuk kerucut yang ujungnya berada di atas tulang iga pertama dan dasarnya berada pada diafragma. Paru terbagi menjadi dua yaitu bagian yaitu, paru kanan dan paru kiri. Paru-paru kanan mempunyai tiga lobus sedangkan paru-paru kiri mempunyai dua lobus. Setiap paru- paru terbagi lagi menjadi beberapa sub-bagian, terdapat sekitar sepuluh unit terkecil yang disebut bronchopulmonary segments. Paru-paru bagian kanan dan bagian kiri dipisahkan oleh sebuah ruang yang disebut mediastinum (Evelyn, 2009).

Paru-paru manusia dibungkus oleh selaput tipis yang bernama pleura. Pleura terbagi menjadi pleura viseralis dan pleura pariental. Pleura viseralis yaitu selaput tipis yang langsung membungkus paru, sedangkan pleura parietal yaitu selaput yang menempel pada rongga dada. Diantara kedua pleura terdapat rongga yang disebut cavum pleura (Guyton, 2007).

Menurut Juarfianti (2015) sistem pernafasan manusia dapat dibagi ke dalam sistem pernafasan bagian atas dan pernafasan bagian bawah.

                          1)     Pernafasan bagian atas meliputi hidung, rongga hidung, sinus paranasal, dan faring.

                         2)      Pernafasan bagian bawah meliputi laring, trakea, bronkus, bronkiolus dan alveolus paru.

Menurut Alsagaff (2015) sistem pernapasan terbagi menjadi dari dua proses, yaitu inspirasi dan ekspirasi. Inspirasi adalah pergerakan dari atmosfer ke dalam paru, sedangkan ekspirasi adalah pergerakan dari dalam paru ke atmosfer. Agar proses ventilasi dapat berjalan lancar dibutuhkan fungsi yang baik pada otot pernafasan dan elastisitas jaringan paru. Otot-otot pernafasan dibagi menjadi dua yaitu :

1)  Otot inspirasi yang terdiri atas, otot interkostalis eksterna, sternokleidomastoideus, skalenus dan diafragma.

2)  Otot-otot ekspirasi adalah rektus abdominis dan interkostalis internus.

b.     Fisiologi Paru

Paru-paru dan dinding dada mempunyai struktur yang elastis. Dalam keadaan normal terdapat lapisan cairan tipis antara paru-paru dan dinding dada sehingga paru-paru dengan mudah bergeser pada dinding dada karena memiliki struktur yang elastis. Tekanan yang masuk pada ruangan antara paru-paru dan dinding dada berada di bawah tekanan atmosfer (Guyton, 2007).

Fungsi utama dari paru-paru adalah untuk pertukaran gas antara darah dan atmosfer. Pertukaran gas tersebut bertujuan untuk menyediakan oksigen bagi jaringan dan mengeluarkan karbon dioksida. Kebutuhan oksigen dan karbon dioksida terus berubah sesuai dengan tingkat aktivitas dan metabolisme seseorang, akan tetapi pernafasan harus tetap dapat berjalan agar pasokan kandungan oksigen dan karbon dioksida bisa normal (Jayanti, 2013).

Udara yang dihirup dan masuk ke paru-paru melalui sistem berupa pipa yang menyempit (bronchi dan bronkiolus) yang bercabang di kedua belah paru-paru utama (trachea). Pipa tersebut berakhir di gelembung- gelembung paru-paru (alveoli) yang merupakan kantong udara terakhir dimana oksigen dan karbondioksida dipindahkan dari tempat dimana darah mengalir. Ada lebih dari 300 juta alveoli di dalam paru-paru manusia dan bersifat elastis. Ruang udara tersebut dipelihara dalam keadaan terbuka oleh bahan kimia surfaktan yang dapat menetralkan kecenderungan alveoli untuk mengempis (Yunus, 2007).

Menurut Guyton (2007) untuk melaksanakan fungsi tersebut, pernafasan dapat dibagi menjadi empat mekanisme dasar, yaitu :

                         1)         Ventilasi paru yang berfungsi untuk proses masuk dan keluarnya udara antara alveoli dan atmosfer.

                         2)         Difusi dari oksigen dan karbon dioksida antara alveoli dan darah.

                         3)         Transport dari pasokan oksigen dan karbon dioksida dalam darah dan cairan tubuh ke dan dari sel.

                         4)         Pengaturan ventilais pada sistem pernapasan.

Pada waktu menarik nafas atau inspirasi maka otot-otot pernapasan berkontraksi, tetapi pengeluaran udara pernafasan dalam proses yang pasif. Ketika diafragma menutup, penarikan nafas melalui isi rongga dada kembali memperbesar paru-paru dan dinding badan bergerak hingga diafragma dan tulang dada menutup dan berada pada posisi semula (Evelyn, 2009).

Inspirasi merupakan proses aktif kontraksi otot-otot. Selama bernafas tenang, tekanan intrapleura kira-kira 2,5 mmHg relatif lebih tinggi terhadap atmosfer. Pada permulaan, inspirasi menurun sampai - 6mmHg dan paru-paru ditarik ke posisi yang lebih mengembang dan tertanam dalam jalan udara sehingga menjadi sedikit negatif dan udara mengalir ke dalam paru-paru. Pada akhir inspirasi, recoil menarik dada kembali ke posisi ekspirasi dimana tekanan recoil paru-paru dan dinding dada seimbang. Tekanan dalam jalan pernafasan seimbang menjadi sedikit positif sehingga udara mengalir ke luar dari paru-paru (Algasaff, 2015)

Selama pernafasan tenang, ekspirasi merupakan gerakan pasif akibat elastisitas dinding dada dan paru-paru. Pada waktu otot interkostalis eksternus relaksasi, dinding dada turun dan lengkung diafragma naik ke atas ke dalam rongga toraks, menyebabkan volume toraks berkurang. Pengurangan volume toraks ini meningkatkan tekanan intrapleura maupun tekanan intrapulmonal. Selisih tekanan  antara saluran udara dan atmosfir menjadi terbalik, sehingga udara mengalir keluar dari paru-paru sampai udara dan tekanan atmosfir menjadi sama kembali pada akhir ekspirasi (Miller et al, 2011).

Proses setelah ventilasi adalah difusi yaitu, perpindahan oksigen dari alveoli ke dalam pembuluh darah dan berlaku sebaliknya untuk karbondioksida. Difusi dapat terjadi dari daerah yang bertekanan tinggi ke tekanan rendah. Ada beberapa faktor yang berpengaruh pada difusi gas dalam paru yaitu, faktor membran, faktor darah dan faktor sirkulasi. Selanjutnya adalah proses transportasi, yaitu perpindahan gas dari paru ke jaringan dan dari jaringan ke paru dengan bantuan aliran darah (Guyton, 2007).

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi fungsi paru-paru manusia adalah sebagai berikut :

1)  Usia

Kekuatan otot maksimal paru-paru pada usia 20-40 tahun dan dapat berkurang sebanyak 20% setelah usia 40 tahun. Selama proses penuan terjadi penurunan elastisitas alveoli, penebalan kelenjar bronkial, penurunan kapasitas paru.

2)  Jenis kelamin

Fungsi ventilasi pada laki-laki lebih tinggi sebesar 20-25% dari pada funsgi ventilasi wanita, karena ukuran anatomi paru pada laki-laki lebih besar dibandingkan wanita. Selain itu, aktivitas laki- laki lebih tinggi sehingga recoil dan compliance paru sudah terlatih.

3)    Tinggi badan

Seorang yang memiliki tubuh tinggi memiliki fungsi ventilasi lebih tinggi daripada orang yang bertubuh kecil pendek (Juarfianti, 2015).

c.     Volume dan kapasitas paru

Menurut Evelyn (2009) volume paru terbagi menjadi 4 bagian, yaitu:

                            1)         Volume Tidal adalah volume udara yang diinspirasi atau diekspirasi pada setiap kali pernafasan normal. Nilai dari volume tidal sebesar ± 500 ml pada rata-rata orang dewasa.

                            2)         Volume Cadangan Inspirasi adalah volume udara ekstra yang diinspirasi setelah volume tidal, dan biasanya mencapai maksimal ± 3000 ml.

                            3)         Volume Cadangan Ekspirasi adalah jumlah udara yang masih dapat dikeluarkan dengan ekspirasi maksimum pada akhir ekspirasi normal, pada keadaan normal besarnya adalah ± 1100 ml.

                            4)         Volume Residu, yaitu volume udara yang masih tetap berada dalam paru-paru setelah ekspirasi kuat. Nilainya sebesar ± 1200 ml.

Menurut Yunus (2007) kapasitas paru merupakan gabungan dari beberapa volume paru-paru dan dibagi menjadi empat bagian, yaitu:

1)  Kapasitas Inspirasi, sama dengan volume tidal + volume cadangan inspirasi. Besarnya ± 3500 ml, dan merupakan jumlah udara yang dapat dihirup seseorang mulai pada tingkat ekspirasi normal dan mengembangkan paru sampai jumlah maksimum.

2)  Kapasitas Residu Fungsional, sama dengan volume cadangan inspirasi + volume residu. Besarnya ± 2300 ml, dan merupakan besarnya udara yang tersisa dalam paru pada akhir ekspirasi normal.

3)  Kapasitas Vital, sama dengan volume cadangan inspirasi + volume tidal + volume cadangan ekspirasi. Besarnya ± 4600 ml, dan merupakan jumlah udara maksimal yang dapat dikeluarkan dari paru, setelah terlebih dahulu mengisi paru secara maksimal dan kemudian mengeluarkannya sebanyak-banyaknya.

4)  Kapasitas Vital paksa (KVP) atau Forced Vital Capacity (FVC) adalah volume total dari udara yg dihembuskan dari paru-paru setelah inspirasi maksimum yang diikuti oleh ekspirasi paksa minimum. Hasil ini didapat setelah seseorang menginspirasi dengan usaha maksimal dan mengekspirasi secara kuat dan cepat.


5)  Volume ekspirasi paksa satu detik (VEP1) atau Forced Expiratory Volume in One Second (FEV1) adalah volume udara yang dapat dikeluarkan dengan ekspirasi maksimum per satuan detik. Hasil ini didapat setelah seseorang terlebih dahulu melakukakan pernafasan dalam dan inspirasi maksimal yang kemudian diekspirasikan secara paksa sekuat-kuatnya dan semaksimal mungkin, dengan cara ini kapasitas vital seseorang tersebut dapat dihembuskan dalam satu detik.

6)  Kapasitas Paru Total, sama dengan kapasitas vital + volume residu.

Besarnya ±5800ml, adalah volume maksimal dimana paru dikembangkan sebesar mungkin dengan inspirasi paksa.Volume dan kapasitas seluruh paru pada wanita ± 20 – 25% lebih kecil daripada pria, dan lebih besar pada atlet dan orang yang bertubuh besar daripada orang yang bertubuh kecil dan astenis.

4.     Penyebab ISPA

Etiologi ISPA terdiri dari agen infeksius dan agen non- infeksius. Agen infeksius yang paling umum dapat menyebabkan infeksi saluran pernafasan akut adalah virus, seperti respiratory syncytial virus (RSV), nonpolio enterovirus (coxsackie viruses Adan B), Adenovirus, Parainfluenza, dan Human metapneumo viruses.  Agen infeksius selain virus juga dapat menyebabkan ISPA, staphylococcus, haemophilus influenza, Chlamydia trachomatis, mycoplasma, dan pneumococcus (Hockenberry dan Wilson,2013).  Misnadiarly (2008) menyebutkan bahwa selain agen infeksius, agen non-infeksius juga dapat menyebabkan ISPA seperti inhalasi zat-zat asing seperti racun atau bahan kimia, asap rokok, debu, dan gas.

5.     Patofisiologi ISPA

Proses terjadinya ISPA diawali dengan masuknya beberapa bakteri dari genus streptokokus, stafilokokus, pneumokokus, hemofillus, bordetella dan korinebakterium dan virus dari golongan mikrovirus (termasuk didalamnya virus para influenza dan virus campak), adenoveirus, koronavirus, pikornavirus, herpesvirus kedalam tubuh manusia melalui partikel udara (droplet infection). Kuman ini akan melekat pada sel epitel hidung dengan mengikuti proses pernapasan maka kuman tersebut bisa masuk ke bronkus dan masuk ke saluran pernapasan, yang mengakibatkan demam, batuk, pilek, sakit kepala dan sebagainya (Marni, 2014).

Transmisi patogen penyebab ISPA atas dapat melalui beberapa cara diantaranya aerosol, droplet, dan kontak langsung dengan patogen. Patogen ini akan menghadapi pertahanan fisik dan mekanik yang dimiliki oleh host diantaranya rambut hidung, mukosa, dan silia. Apabila patogen tersebut dapat lolos, maka akan menghadapi sistem imun yang dihasilkan oleh adenoid dan tonsil.

Flora normal nasofaring yang terdiri dari Staphylococcus dan Streptococcus juga berperan dalam melawan patogen. Untuk menghadapi pertahanan host, patogen memiliki berbagai mekanisme untuk melindungi diri dari fagositosis diantaranya memproduksi racun, protease, dan menghasilkan kapsul. Masa inkubasi antara satu patogen dengan patogen yang lainnya berbeda. Rhinovirus dan Streptococcus grup A memiliki masa inkubasi 1 – 5 hari, Influenza dan Parainfluenza 1 – 4 hari, dan Respiratory Syncytial Virus 1 minggu. Masa inkubasi mempengaruhi kapan munculnya gejala pada ISPA atas. Gejala ISPA atas yang muncul seperti eritema, edema, sekresi mukus, dan demam merupakan hasil dari kerja sistem imun host yang melawan patogen dan dari toxic yang dihasilkan patogen.34

 

6.     Tanda dan Gejala ISPA

Saluran Pernafasan merupakan bagian tubuh yang seringkali terjangkit infeksi oleh berbagai jenis mikroorganisme. Tanda dan gejala dari infeksi yang terjadi pada sluran pernafasan tergantung pada fungsi saluran pernafasan yang terjangkit infeksi, keparahan proses infeksi, dan usia seseorang serta status kesehatan secara umum (Porth, 2011).

Djojodibroto (2009) menyebutkan tanda dan gejala ISPA sesuai dengan anatomi saluran pernafasan yang terserang yaitu:

a.  Gejala infeksi saluran pernafasan bagian atas. Gejala yang sering timbul yaitu pengeluaran cairan (discharge) nasal yang berlebihan, bersin, obstruksi nasal, mata berair, konjungtivitis ringan, sakit tenggorokan yang ringan sampai berat, rasa kering pada bagian posterior palatum mole dan uvula, sakit kepala, malaise, lesu, batuk seringkali terjadi, dan terkadang timbul demam.

b.  Gejala infeksi saluran pernafasan bagian bawah. Gejala yang timbul biasanya didahului oleh gejala infeksi saluran pernafasan bagian atas seperti hidung buntu, pilek, dan sakit tenggorokan. Batuk yang bervariasi dari ringan sampai berat, biasanya dimualai dengan batuk yang tidak produktif. Setelah beberapa hari akan terdapat produksi sputum yang banyak; dapat bersifat mucus tetapi dapat juga mukopurulen. Pada pemeriksaan fisik, biasanya akan ditemukan suara wheezing atau ronkhi yang dapat terdengar jika produksi sputum meningkat.

Dan juga tanda dan gejala lainnya dapat berupa batuk, kesulitan bernafas, sakit tenggorokan, pilek, demam dan sakit kepala. Sebagian besar dari gejala saluran pernapasan hanya bersifat ringan seperti batuk, kesulitan bernapas, sakit tenggorokan, pilek, demam dan sakit kepala tidak memerlukan pengobatan dengan antibiotic (Rahmayatul, 2013).

7.     Penatalaksanaan ISPA

Menurut WHO (2007), penatalaksanaan ISPA sedang meliputi :

a.       Suportif

Meningkatkan daya tahan tubuh berupa nutrisi yang adekuat, pemberian multivitamin

b.     Antibiotic

Idealnya berdasarkan jenis kuman penyebab. Utama ditujukan pada pneumonia, influenza dan Aureus. Pneumonia rawat jalan yaitu kotrimoksasol 1mg, amoksisillin 3 x ½ sendok teh, amplisillin (500mg) 3 tab puyer/x bungkus / 3x sehari/8 jam, penisillin prokain 1 mg. Pneumonia berat yaitu Benzil penicillin 1 mg, gentamisin (100 mg) 3 tab puyer/x bungkus/3x bungkus/3x sehari/8 jam. Antibiotik baru lain yaitu sefalosforin 3 x ½ sendok teh, quinolon 5 mg,dll

Beri obat penurun panas seperti paracetamol 500 mg, asetaminofen 3 x ½ sendok teh. Jika dalam 2 hari anak yang diberikan antibiotik tetap sama ganti antibiotik atau rujuk dan jika anak membaik teruskan antibiotik sampai 3 hari (Kepmenkes RI, 2011)

c.     Pencgahan

Hal–hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya penyakit ISPA sedang pada anak menurut Prabu (2009), antara lain :

1.     Mengusahakan agar anak memperoleh gizi yang baik, diantaranya dengan cara memberikan makanan kepada anak yang mengandung cukup gizi.

2.     Memberikan imunisasi yang lengkap kepada anak agar daya tahan tubuh terhadap penyakit baik.

3.     Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan agar tetap bersih

4.     Mencegah anak berhubungan dengan klien ISPA. Salah satu cara adalah memakai penutup hidung dan mulut bila kontak langsung dengan anggota keluarga atau orang yang sedang menderita penyakit ISPA.

d.     Pemeriksaan Penunjang

1.     Kultur

Kultur tenggorok dapat dilakukan untuk mengidentifikasi organisme yang menyebabkan faringitis

2.     Biopsi

Prosedur biopsi mencakup tindakan mengeksisi sejumlah kecil jaringan tubuh, dilakukan untuk memungkinkan pemeriksaan sel-sel dari faring, laring, dan rongga hidung. Dalam tindakan ini mungkin saja pasien mendapat anastesi lokal, tropical atau umum tergantung pada tempat prosedur dilakukan.

3.     Pemeriksaan pencitraan, termasuk di dalamnya pemeriksaan sinar-X jaringan lunak, CT Scan, pemeriksaan dengan zat kontras dan MRI (pencitraan resonansi magnetik). Pemeriksaan tersebut mungkin dilakukan sebagai bagian integral dari pemeriksaan diagnostik untuk menentukan keluasan infeksi pada sinusitis atau pertumbuhan tumor dalam kasus tumor

8.     Komplikasi ISPA

Komplikasi merupakan akibat dari invasi bakteri sinus paranasal dan bagian – bagian lain saluran pernafasan. Limfonodi servikalis dapat juga menjadi terlibat dan kadang –kadang bernanah


Mastoiditis, selulitis peritonsiler, sinusitis, atau selulitis periorbital dapat terjadi. Komplikasi yang paling sering adalah otitis media, yang ditemukan pada bayi – bayi kecil sampai sebanyak 25 persennya. Kebanyakan, infeksi virus saluran pernafasan atas juga melibatkan saluran pernafasan bawah, dan pada banyak kasus, fungsi paru menurun walaupun gejala saluran pernafasan bawah tidak mencolok atau tidak ada (Nelson, 2007).

 

B.    Konsep Asuhan Keperawatan ISPA

1.          Pengkajian

Data yang perlu dikaji pada pasien ISPA dapat berupa  (Nursalam, 2005):

a.       Identifikasi klien yang meliputi: nama, umur, jenis kelamin, pendidikan,agama, suku bangsa, alamat, tanggal MRS dan diagnose medis. Diderita oleh usia bayi  dan usia dewasa. Pada usia bayi kebanyakan diderita dengan usia 0-5 tahun, pada usia dewasa diderita pada umur 18-30 tahun.  Jenis kelamin perempuan mayoritas yang terkena penyakit ini karena kekebalan tubuh perempuan lebih rendah dibanding laki-laki.

b.      Riwayat penyakit meliputi : keluhan utama, biasanya klien datang dengan keluhan batuk pilek serta panas, kesehatan sekarang, kesehatan yagn lalu,riwayat kesehatan keluarga, riwayat nutrisi, eliminasi, personal hygiene. Timbulnya ISPA disebabkan karena riwayat keluarga dan lingkungan terjadi pada anak-anak dengan adanya pernapasan dalam dan dangkal, retraksi dinding dada, pernapasan cuping hidung, sianosis pada mulut dan hidung, suhu tubuh meningkat 39-40oC. Penyakit ISPA membuat aktivitas klien berkurang, timbulnya ISPA sering terjadi pada anak-anak dan lingkungan. Penyakit ini bukan penyakit keturunan karena penyebabnya virus, bakteri.

c.       Pemeriksaan fisik berfokus pada system pencarnaan meliputi : keadaan umum (penampilan, kesadaran, tinggi badan, BB dan TTV), kulit, kepala dan leher, mulut, abdomen.

d.      Aktivitas dan isrirahat

Gejala : kelemahan, kelelahan, cape atau lelah, insomnia, tidak bisa tidur pada malam hari, karena badan demam.

e.       Eliminasi

Gejala : Tekstur feses bervariasi dari bentuk lunak, bau, atau berairTanda : kadang- kadang terjadi peningkatan bising usus.

f.       Makanan atau cairan

Gejala : klien mengalami anoreksia dan muntah, terjadi penurunan BB.Tanda : kelemahan, turgor kulit klien bisa buruk, membrane mukosa pucat.

g.      Sirkulasi

Denyut jantung menjadi cepat, sianosis, suhu tubuh meningkat 39-40 C dan membran mukosa lembab.

                  i.           Integritas ego

Cemas, rewel, dan gelisah.

j.      Neurosensori

Kesadaran apatis

k.     Interaksi social

Anaknya menjadi pendiam.

l.      Keamanan

Peningkatan suhu tubuh dan peningkatan frekuensi napas.

2.          Diagnosa  Keperawatan

a.     Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d inflamasi, peningkatan sekresi

b.     Pola nafas tidak efektif b.d proses inflamasi

c.     Cemas b.d kesulitan bernafas, prosedur dan lingkungan yang tidak dikenal

d.     Resiko infeksi b.d adanya organisme infektif, tak adekuatnya pertahanan sekunder

e.     Resiko kekurangan cairan berhubungan dengan mual muntah

 

3.          Perencanaan Keperawatan

Menurut Wong (2009) Perencanaan keperawatan pada kasus anak ISPA adalah sebagai berikut;

 

No

Diagnose keperawatan

Tujuan dan kriteria hasil

Intervensi

Rasional

1.           

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Ketidakefektifan bersihan jalan nafas. Definisi: ketidakmampuan untuk membersihkan secret atau obstruksi saluran nafas guna mempertahankan jalan

 

Batasa Karakteristik :

1.             Tidak ada batuk

2.             Sura nafas tambahan

3.             Perubahan frekuensi nafas

4.             Sianosis

5.             Kesulitah

6.             bernafas

7.             Penurunan suara nafas

8.             Gelisah

9.             Sputum berlebih

10.       Mata terbelalak

Factor Yang Berhubungan :

1.          Lingkungan : merokok, menghisap asap rokok, perokok pasif.

2.          Obstruksi jalan nafas: terdapat benda asing di jalan nafas, spasme jalan nafas.

3.          Fisiologis : kelainan dan penyakit.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

1.         Menunjukan bersihan jalan nafas yang efektif dibuktikan oleh, pencegahan aspirasi, status pernafasan: ventilasi tidak terganggu dan status pernafasan: kepatenan jalan nafas.

2.         Menunjukan status pernafasan: kepatenan jalan nafas, yang dibuktikan oleh indikator sebagai berikut: kemudahan bernafas, frekuensi dan irama bernafas, pergerakan sputum keluar dari jalan nafas, pergerakan sumbatan keluar dari jalan nafas.

 

 

 

 

 

NIC:

Airway suction

 

1.          Pastikan kebutuhan oral atau tracheal suctioning.

2.          Auskultasi sura napas sebelum dan sesudah

1.     suctioning.

2.     Informasi kepada klien dan keluarga tentang suctioning.

3.     Berikan O2 dengan menggunakan nasal untuk memfasilitasi suction nasotrakeal.

4.     Monitoring status oksigen klien.

5.     Gunakan alat yang steril setiap melakukan tindakan.

6.     Airway management:

7.     Buka jalan napas, gunakan teknik chinlift atau jaw thrust bila perlu.

8.     Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi.

9.     Indentifikasi klien perlunya pemasangan alat jalan napas buatan.

10.  Lakukan

11.  fisioterapi dada jika perlu.

12.  Auskultasi suara napas, catat adanya suara tambahan.

13.  Monitor repirasi dan status O2.

 

 

 

1.            Memastikan dengan benar apa yang menjadi kebutuhan klien.

2.            Mengetahui perbedaan suara napas sebelum & sesudah.

3.            Informed concent sangat diperlukandalam komunikasi terapeutik karena dengan informasi yang jelas dan tepat, maka klien dan keluarga dapat mengambil keputusan atas tindakan yang akan diberikan.

4.            Mencegah kejadiannya kekurangan oksigen selama suction berlangsung.

5.            Penurunan status oksigen mengindikasihan klien mengalami kekurangan oksigen yang dapat menyebabkan terjadinya hipoksia.

6.            Mencegah terjadinya infeksi.

7.            Jalan napas yang paten dapat memberikan kebutuhan oksigen di semua jaringan tubuh secara adekuat.

8.            Posisi semifowler membantu klien memaksimalkan ventilasi sehingga kebutuhan oksigen terpenuhi

9.            Alat bantu pernafasan membantu organ pernafasan memenuhi kebutuhan oksigen sehingga oksigen yang di perlukan tubuh tercukupi.

10.      Fisioterapi dada

 

 

 

2.           

Pola nafas tidak efektif b.d proses inflamasi

 

1.     Tidak terdapat orthopnea.

2.      Tidak terdapat penggunaan otot bantu napas.

3.     Tidak terdapat pernapasan cuping hidung.

 

1.       Periksa posisi anak dengan sering untuk memastikan bahwa anak tidak merosot\

2.       Hindari pakaian dan bedong yang ketat

3.       Berikan bantal dan bantuan untuk mempertahankan jalan nafas

4.       Beri peningkatan kelembapan dan oksigen

5.       Tingkatkan istirahat dan tidur dengan menjadwalkan aktivitas dan periode istirahat yang tepat

6.       Anjurkan teknik relaksasi

7.       Ajarkan pada anak dan keluarga tindakan untuk mengurangi upaya pernapasan

 

1.       Untuk menghindari penekanan diagpragma

2.       Untuk membuka jalan nafas

3.       Agar anak bisa bernafas dengan lega

4.       Untuk mengetahui gangguan nafas

5.       Mengurangi kerja paru

6.       Membuat pasien lebih nyaman

7.       Mengurangi sesak dan kerja paru

 

3.           

Cemas b.d kesulitan bernafas, prosedur dan lingkungan yang tidak dikenal

 

1.     Relaks

2.     Dapat mengikuti pengobatan

1.       Ciptakan hubungan anak dan orang tua

2.       Tetap bersama anak selama prosedur

3.       Berikan objek kedekatan (misalnya: mainan, keluarga, selimut)

4.       Anjurkan perawatan yang berpusat pada keluarga dengan kehadiran orang tua.

 

1.   Anak lebih dekat dengan orang tua

2.   Untuk mengurangi kecemasan anak

3.   Anak lebih senang dengan objek misalnya mainan.

4.   Orang tua salah satu peran yang dekat dengan orang tua

 

4.           

Resiko infeksi b.d adanya organisme infektif, tak adekuatnya pertahanan sekunder

 

1.     tidak ada tanda-tanda infeksi dan

2.     penyembuhan sesuai waktu.

 

3.       Isolasi anak sesuai indikasi

4.       Beri antibiotik sesuai ketentuan

5.       Berikan diit bergizi sesuai kesukaan anak

6.       Ajarkan pada anak dan keluarga yang sakit metode-metode protektif 

7.       Batasi jumlah pngunjung/anggota keluarga/saudara kandung dan skrining adanya penyakit lain pada pengungjung

 

1.       Untuk mencegah penyebaran infeksi nosokimial

2.       Untuk mencegah atau mengatasi infeksi

3.       Untuk mendukung pertahanan tubuh alami

4.       Untuk mencegah penyebaran infeksi

5.       Untuk mencegah penyebaran infeksi dari luar

 

5.           

Resiko kekurangan cairan berhubungan dengan mual muntah

 

1.     tidak terjadi tanda-tanda kekurangan cairan dalam tubuh.

2.     mempertahankan keseimbangan cairan dengan tanda kelembaban pada mukosa, dan turgor kulit baik.

 

 

1.     Ukur dan catat pemasukan dan pengeluaran cairan.

3.       Catat adanya tanda mual dan muntah.  

4.       Kolaborasi dalam pemberian cairan perental dan pemberian cairan oral secara bertahap.  

 

1.     untuk mengetahui tanda-tanda dehidrasi.

2.     untuk mengetahui cairan yang keluar dalam tubuh.

3.     untuk menggantikan cairan yang hilang.

 

3.         Implementasi Keperawatan

Menurut (Harmoko, 2012) guna membangkitkan minat keluarga dalam berperilaku hidup sehat, maka perawat harus memahami teknik-teknik motivasi. Tindakan keperawatan keluarga mencakup hal-hal di bawah ini:

a.     Menstimulasi kesehatan atau penerimaan keluarga mengenai kebutuhan kesehatan dengan cara memberikan informasi, mengidentifikasi kehidupan dan harapan tentang kesehatan, serta mendorong sikap emosi yang sehat terhadap masalah.

b.     Menstimulasi keluarga untuk memutuskan cara perawatan yang tepat dengan cara mengidentifikasi kensekuensi untuk tidak melakukan tindakan, mengidentifikasi sumber-sumber yang dimiliki keluarga dan mendiskusikan konsekuensi setiap tindakan.

c.     Memberikan kepercayaan diri dalam merawat anggota keluarga yang sakit dengan cara mendemonstrasikan cara perawatan, menggunakan alat dan fasilitas yang ada di rumah, dan mengawasi keluarga melakukan perawatan.  

d.     Membantu keluarga untuk menemukan cara membuat lingkungan menjadi sehat dengan menemukan sumber-sumber yang dapat digunakan keluarga dan melakukan perubahan lingkungan keluarga seoptimal mungkin.

e.     Memotivasi keluarga untuk memanfaatkan fasilitas kesehatan dengan cara mengenalkan fasilitas kesehatan yang ada dilingkungan keluarga cara menggunakan fasilitas tersebut.

4.         Evaluasi Keperawatan

Berdasarkan pada seberapa efektif intervensi yang dilakukan keluarga, perawat dan lainnya. Keberhasilan lebih ditentukan oleh hasil pada sistem keluarga dan anggota keluarga (bagaimana anggota berespons) daripada intervensi yang diimplementasikan. Evaluasi merupakan kegiatan bersama antara perawat dan keluarga. Evaluasi merupakan proses terus menerus yang terjadi setiap saat perawat memperbarui rencana asuhan keperawatan (Friedman, 2010). Sedangkan menurut Ayu (2010), evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan. Evaluasi merupakan sekumpulan metode dan keterampilan untuk menentukan apakah program sudah sesuai dengan rencana dan tuntutan keluarga. Menurut Sudiharto (2012), evaluasi keperawatan keluarga adalah proses untuk menilai keberhasilan keluarga dalam melaksanakan tugas kesehatannya sehingga memiliki produktivitas yang tinggi dalam mengembangkan setiap anggota keluarga.


DAFTAR PUSTAKA

 

Amalia Nurin,dkk. 2014. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan ISPA. Poltekes Kemenkes Riau : DIIIKeperawatan

Ayu, Komang Henny Achjar. 2010. Aplikasi Praktis Asuhan Keperawatan Keluarga. Jakarta: Anggota IKAPI

Carpenito, L. J. 2009. Diagnosa Keperawatan. Aplikasi pada Praktek Klinis. Edisi:IX. Dialihbahasakan: Kusrini Sumarwati Kadar. Jakarta: EGC.

Friedman, Marilyn M dkk. 2010. Buku Ajar : Keperawatan Keluarga Riset, Teori & Praktik. Jakarta : EGC.

Haniek U dan Rosita D. (2015). Faktor Penyebab Terjadinya Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita di Puskesmas Nalumsari (Studi Kasus di Desa Tunggul Pandean, Desa Blimbingrejo dan Desa Pringtulis). Jurnal Kesehatan dan Budaya. Volume 08 No. 02. November 2015. ISSN: 1907-1396.

Kartiningrum ED. (2016). Faktor yang Mempengaruhi Kejadian ISPA pada Balita di Desa Kembang Sari Kecamatan Jatibanteng Kabupaten Situbondo. Hospital Majapahit. Volume 8. No. 2 Nopember 2016.

Kemenkes RI, 2012. Pedoman Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan Akut. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI

Kementrian Republik Indonesia. 2017. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Balitbang Kemenkes RI

Kucoro Fadli. 2013. Asuhan Keperawatan Keluarga. Fak Ilmu Kesehatan UMP Nursalam. 2011. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan

Munaya EF. (2015). Faktor Risiko Infeksi Saluran Pernapasan Akut Nonpneumonia pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Magersari, Kota Magelang. Jurnal Respirologi Indonesia. Vol. 35 No. 1 Januari 2015.

Murti T. (2016). Faktor Risiko Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sukoharjo. [Skripsi Ilmiah]. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta

Nursalam. (2005). Buku pengkajian keperawatan. Jakarta: EGC

Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika

Riskesdas, 2013. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI Saputra R. 2013. Bersihan Jalan Nafas. Fakultas Ilmu Kesehatan UMP

Sofia, 2017. Faktor Risiko Lingkungan Dengan Kejadian ISPA Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Ingin Jaya Kabupaten Aceh Besar. Journal Action, Aceh nutrition journal. Mei 2017; 2(1): 43-50

Stover, C. S., & Litwin, C. M. 2015. The Epidemiology of Upper Respiratory Infections at a Tertiary Care Center: Prevalence,Seasonality,and Clinical Symptoms. Journal of Respiratory Medicine.Volume 2014

Susanti. 2017. Analisis Program Penaggulangan ISPA Pada Balita di Puskesmas Sungai Lansek Tahun 2017. FKM : Universitas Andalas

Trimurti, 2016. Faktor Resiko Kejadian ISPA Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sukaharjo. Naskah Publikasi. Surakarta: FakIK Univ Muhammadiyah

Wong Donna L. 2008. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Ed 6. Jakarta :EGC

Wong, D. L. (2009). Buku ajar keperawatan pediatrik. (Edisi 6). Jakarta: EGC

Wulandari D & Purnamasari L. 2015. Kajian Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan Infeksi Saluran Pernafasan Akut. Indonesian Journal On Medican Science. Vol: 2 No:2

Author Image

About ALVA MUSTAMU
Soratemplates is a blogger resources site is a provider of high quality blogger template with premium looking layout and robust design

Tidak ada komentar: