Jumat, 17 Juli 2020

ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA ULKUS DIABETIKUM

0


PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang

Ulkus Diabetikum merupakan luka yang muncul dan berkembang akibat gangguan saraf tepi, kerusakan struktur tulang kaki, serta penebalan dan penyempitan pembuluh darah yang sering terjadi pada penderita diabetes          (PERKENI, 2015)  

World Health Organization (2017) menyatakan bahwa Setiap 20 detik kaki diamputasi karena DM antara 15-20% dan kemungkinan kekambuhan antara 30-40 % dalam tahun pertama  (Armstrong et al., 2017). Indonesia adalah salah satu dari 39 negara di wilayah pasifik barat dengan  total penderita diabetes melitus sebanyak 10.681.400 (6,2%)  (IDF, 2020).

Riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2018 menunjukan bahwa terdapat 3588 kasus diabetes melitus yang terdiagnosis oleh dokter di Papua Barat. Terdapat 56,98% pasien sering lupa meminum obat antihiperglikemia (Litbang Kemkes, 2018). Saat ini, angka kejadian ulkus diabetikum di Papua Barat belum tersedia.

Ulkus kaki pada pasien dm tidak hanya memberikan dampak perubahan fisik pada penderitanya namun juga dapat berdampak pada kehidupan sehari-hari. Studi penelitian tentang kualitas hidup pasien chronic venous ulcer menunjukkan bahwa pasien dengan ulkus kronik mengalami situasi kesulitan hidup akibat adanya keterbatasan mobilitas dan aktivitas, nyeri, dan proses penyembuhan yang panjang (ribu & wahl, 2014).

Asuhan keperawatan  ulkus diabetikum oleh  peneliti sebelumnya bahwa masalah keperawatan utama dalam kasus ini adalah nyeri kronis, dan resiko infeksi. Evaluasi dari masalah keperawatan yang muncul adalah dengan melakukan home visit, memberikan penyuluhan penyuluhan kesehatan terkait dengan masalah keperawatan yang muncul (Fajriati ,2013) 

Dampak dominan yang dialami oleh pasien ulkus kaki adalah nyeri, adanya gangguan tidur, keterbatasan mobilitas, kehilangan energy,penurunan aktivitas, kekhawatiran, frustasi dan kehilangan harga diri.  pasien dengan ulkus kaki mengalami penurunan kualitas hidupnya berhubungan dengan usia, jenis kelamin, intensitas nyeri, lamanya ulkus, gangguan tidur dan gangguan mobilitas yang dialami (Ackermann et al., 2019).


TINJAUAN PUSTAKA

A.   Konsep Diabetes Melitus

1.   Defenisi

Diabetes mellitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Supriyadi, 2017).   Diabetes mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya   (Lanywati, 2016)

2.     Klasifikasi

Perkeni mengklasifikasikan diabetes mellitus menjadi empat, yaitu diabetes tipe I (diabetes bergantung insulin), diabetes tipe II (diabetes tidak bergantung insulin), diabetes tipe lain, serta diabetes gestasional (PERKENI, 2015)

a.     Diabetes Tipe I (Insulin Dependent Diabetes Mellitus [IDDM])

Merupakan kondisi autoimun yang menyebabkan kerusakan sel β pankreas sehingga timbul defisiensi insulin absolut. Pada DM tipe I sistem imun tubuh sendiri secara spesifik menyerang dan merusak sel-sel penghasil insulin yang terdapat pada pankreas. Belum diketahui hal apa yang memicu terjadinya kejadian autoimun ini, namun bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa faktor genetik dan faktor   lingkungan seperti infeksi virus tertentu berperan dalam prosesnya. Sekitar 70 - 90%  sel  β  hancur  sebelum  timbul  gejala  klinis. Pasien DM  tipe  1  harus menggunakan injeksi insulin dan menjalankan diet secara ketat.

b.     Diabetes Tipe II (Non-Insulin Dependent Diabetes Mellitus [NIDDM])

Diabetes tipe ini merupakan bentuk diabetes paling umum. Penyebabnya bervariasi mulai  dominan resistansi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai efek sekresi insulin disertai resistansi insulin.

c.     Diabetes Tipe Lain

a)     Defek genetik fungsi sel beta (maturity onset diabetes of the young [MODY]1,2,3, dan DNA mitokondria)

b)    Defek genetik kerja insulin

c)     Penyakit eksokrin pankreas (pankreatitis, tumor/pankreatektomi, dan pankreatopati fibrokalkulus)

d)    Infeksi (rubella kongenital, sitomegalovirus)

b.     Diabetes Gestasional

Diabetes ini disebabkan karena terjadi resistansi insulin selama kehamilan dan biasanya kerja insulin akan kembali normal setelah melahirkan.

3.     Etiologi

Berikut adalah etiologi diabetes menurut tipenya.

a.     Diabetes tipe I

a)     Faktor genetik

Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri tetapi mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetik ke arah terjadinya DM tipe I. Kecenderungan genetik ini ditemukan pada individu yang memiliki tipe antigen HLA  (Padila, 2012)

b)    Faktor-faktor imunologi

Adanya respons autoimun yang merupakan respons abnormal dimana antibodi terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing, yaitu autoantibodi terhadap sel-sel Langerhans dan insulin endogen (Padila, 2012).

c)     Faktor lingkungan

Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses autoimun yang menimbulkan destruksi sel beta  (Padila, 2012).

b.     Diabetes tipe II

Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistansi insulin dan gangguan sekresi insulin pada diabetes tipe II masih belum diketahui. Penyebab resistansi insulin pada diabetes sebenarnya tidak begitu jelas, tetapi faktor yang banyak berperan antara lain sebagai berikut ;

a)     Kelainan genetik

Faktor genetik memegang peranan dalam proses terjadinya resistansi insulin (Padila, 2012).

b)    Usia

Umumnya manusia mengalami penurunan fisiologis yang secara dramatis menurun dengan cepat pada usia setelah 40 tahun. Penurunan ini yang akan berisiko pada penurunan fungsi endokrin pankreas untuk memproduksi insulin (Supriyadi, 2017).   

c)     Gaya hidup dan stress

Stress kronis cenderung membuat seseorang mencari makanan yang cepat saji kaya akan pengawet, lemak, dan gula. Makanan ini berpengaruh besar terhadap kerja pankreas. Stress juga akan meningkatkan kerja metabolisme dan meningkatkan kebutuhan akan sumber energi yang berakibat pada kenaikan kerja pankreas. Beban yang tinggi membuat pankreas mudah rusak hingga berdampak pada penurunan insulin (Supriyadi, 2017).   

d)    Pola makan yang salah

Kurang gizi atau kelebihan berat badan sama-sama meningkatkan risiko terkena diabetes (Supriyadi, 2017).   

e)     Obesitas (terutama pada abdomen)

Obesitas mengakibatkan sel-sel β pankreas mengalami hipertrofi sehingga akan berpengaruh terhadap penurunan produksi insulin.  

f)     Infeksi

Masuknya bakteri atau virus ke dalam pankreas akan berakibat rusaknya sel-sel pankreas. Kerusakan ini berakibat pada penurunan fungsi pankreas (Aini & Aridiana, 2016).

4.     Patofisiologi

Sebagian besar gambaran patologik dari DM dapat dihubungkan dengan salah satu efek utama akibat kurangnya insulin berikut (Supriyadi, 2017).   :

a.     Berkurangnya pemakaian glukosa oleh sel–sel tubuh yang mengakibatkan naiknya konsentrasi glukosa darah.

b.     Peningkatan mobilisasi lemak dari daerah penyimpanan lemak yangmenyebabkan terjadinya metabolisme lemak yang abnormal disertai dengan endapan kolestrol pada dinding pembuluh darah.

c.     Berkurangnya protein dalam jaringan tubuh.

Defisiensi insulin membuat seseorang tidak dapat mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal atau toleransi sesudah makan. Pada hiperglikemia berat yang melebihi ambang ginjal normal (konsentrasi glukosa darah sebesar 160–180mg/100 ml), akan timbul glikosuria karena tubulus–tubulus renalis tidak dapat menyerap kembali semua glukosa. Glukosuria akan mengakibatkan diuresis osmotik yang menyebabkan poliuri disertai kehilangansodium, klorida, potasium, dan pospat. Poliuri menyebabkan dehidrasi dan timbul polidipsi  (Darliana, 2017)

Adanya glukosa yang keluar bersama urine akan menyebabkan pasien mengalami keseimbangan protein negatif dan berat badan menurun serta cenderung terjadi polifagi. Akibat yang lain adalah astenia atau kekurangan energi sehingga pasien menjadi cepat telah dan mengantuk yang disebabkan oleh berkurangnya atau hilangnya protein tubuh dan juga berkurangnya penggunaan karbohidrat untuk energi. Hiperglikemia yang lama akan menyebabkan arterosklerosis, penebalan membran basalis dan perubahan pada saraf perifer. Hal ini akan memudahkan terjadinya gangren (Darliana, 2017).

5.     Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Diabetes Mellitus (Darliana, 2017).

a.     Gaya Hidup

   Gaya hidup menjadi salah satu penyebab utama terjdinya diabetes mellitus. Diit dan olahraga yang tidak baik berperan besar terhaap timbulnya diabetes mellitus yang dihubungkan dengan minimnya aktivitas sehingga meningkatkan jumlah kalori dalam tubuh.

b.     Usia

    Peningkatan usia juga merupakan salah satu faktor risiko yang penting. Diabandingkan wanita pada usia 20-an, wanita yang berusia diatas 40 tahun berisiko enam kali lipat mengalami kehamilan dengan diabetes. Kadar gula darah yang normal cenderung meningkat secara ringan tetapi progresif setelah usia 50 tahun, terutama pada orang-orang yang tidak aktif.

c.     Ras dan Suku Bangsa

   Suku bangsa Amerika Afrika, Amerika Meksiko, Indian Amerika, Hawai, dan sebagian Amerika Asia memiliki resiko diabetes dan penyakit jantung yang lebih tinggi. Hal itu sebagian disebabkan oleh tingginya angka tekanan darah tinggi, obesitas, dan diabetes pada populasi tersebut.

d.     Riwayat Keluarga

    Meskipun penyakit ini terjadi dalam keluarga, cara pewarisan tidak diketahui kecuali untuk jenis yang dikenal sebagai diabetes pada usia muda dengan dewasa. Jika terdapat salah seorang anggota keluarga yang menyandang diabetes maka kesempatan untuk menyandang diabetes pun meningkat.

Pertama transmisi langsung tiga generasi terlihat pada lebih dari 20 keluarga. Kedua didapatkan perbandingan anak diabetes dan tidak diabetes 1:1 jika satu orang tua menderita diabetes. Pengaruh genetik sangat kuat, karena angka konkordansi diabetes tipe 2 pada kembar monozigot mencapai 100 persen. Resiko keturunan dan saudara kandung pasien penderita DM lebih tinggi dibanding diabetes tipe 1.

e.     Kegemukan (Obesitas)

    Overweight dan obesitas erat hubungannya dengan peningkatan resiko sejumlah komplikasi yang dapat terjadi sendiri-sendiri atau secara bersamaan. Seperti yang telah disebutkan di awal, komorbiditas itu dapat berupa hipertensi, dislipidemia, penyakit kardiovaskular, stroke, diabetes tipe II, penyakit gallblader, disfungsi pernafasan, gout, osteoarthritis, dan jenis kanker tertentu. Penyakit kronik yang paling sering menyertai obesitas adalah diabetes tipe II, hipertensi, dan hiperkolesterolemia. NHANES III menyebutkan bahwa kurang lebih 12% orang dengan BMI 27 menderita dibetes tipe 2. Obesitas merupakan faktor resiko utama pada penderita diabetes tipe 2.

 

f.      Komplikasi Diabetes Mellitus

Diabetes merupakan penyakit yang memiliki komplikasi yang paling banyak. Hal ini berkaitan dengan kadar gula darah yang tinggi terus menerus, sehingga berakibat rusaknya pembuluh darah, saraf dan struktur internal lainnya. Zat kompleks yang terdiri dari gula di dalam dinding pembuluh darah menyebabkan pembuluh darah menebal dan mengalami kebocoran. Akibat penebalan ini maka aliran darah akan berkurang, terutama yang menuju aliran saraf dan kulit.

Kadar gula darah yang tidak terkontrol juga cenderung menyebabkan kadar zat berlemak dalam darah meningkat, sehingga mempercepat terjadinya aterosklerosis (penimbunan plak lemak di dalam pembuluh darah). Aterosklerosis ini 2-6 kali lebih sering terjadi pada penderita diabetes. Sirkulasi darah yang buruk melalui pembuluh darah besar bisa melukai otak, jantung, dan pembuluh darah kaki (makroangiopati), sedangkan pembuluh darah kecil bisa melukai mata, saraf, dan kulit serta memperlambat penyembuhan luka. Penderita diabetes bisa mengalami berbagai komplikasi jangka panjang jika diabetesnya tidak dikelola dengan baik.

Komplikasi yang lebih sering terjadi dan mematikan adalah serangan jantung dan stroke. Kerusakan pada pembuluh darah mata bisa menyebabkan gangguan penglihatan, akibat kerusakan pada retina mata (retinopati diabetikum). Kelainan fungsi ginjal bisa menyebabkan gagal ginjal sehingga penderita harus menjalani cuci darah.

Gangguan saraf dapat bermanifestasi dalam beberapa bentuk, misalnya jika satu saraf mengalami kelainan fungsi, maka sebuah lengan atau tungkai bisa secara tiba-tiba menjadi lemah. Jika saraf yang menuju ketangan, dan tungkai mengalami kerusakan, maka pada lengan dan tungkai bisa merasakan kesemutan atau nyeri seperti terbakar atau kelemahan.

Kerusakan pada saraf menyebabkan kulit sering mengalami cedera karena penderita tidak dapat merasakan perubahan tekanan maupun suhu. Berkurangnya aliran darah kekulit juga bisa menyebabkan ulkus atau borok. Bakteri yang dapat menimbulkan infeksi pada luka diabetic adalah bakteri yang menghasilkan biofilm. Biofilm ini dihasilkan oleh bakteri Staphylococcuc aureus, dan Pseudomonas aeuroginosa. Adanya biofilm pada dasar luka dapat menghambat aktivitas fagosisotis neutrofil polimorfonuklear dalam proses penyembuhan luka  (rasyid, 2018), diamana proses penyembuhannya akan berjalan secara lambat hingga menyebabkan amputasi (DEWI, 2013)

B.    Konsep Ulkus Diabetikum

1.     Pengertian Ulkus Diabetikum

Luka diabetik adalah luka yang terjadi pada pasien diabetik yang melibatkan gangguan pada saraf perifer dan autonimik ( Wijaya & Putri,   Luka diabetik adalah luka yang terjadi karena adanya kelainan pada saraf, kelainan pembuluh darah dan kemudian adanya infeksi. Bila infeksi tidak diatasi dengan baik, hal ini akan berlanjut menjadi pembusukan bahkan dapat diamputasi.

Ulkus adalah luka terbuka pada permukaan kulit atau selaput lendir dan ulkus adalah kematian jaringan yang luas dan disertai dengan invasif kuman saprofit. Adanya kuman saprofit tersebut menyebabkan ulkus menjadi berbau, ulkus diabetikum juga merupakan salah satu gejala klinik dari perjalanan DM dengan neuropati perifer (Alexiadou & Doupis, 2012)

2.     Klasifikasi Ulkus Diabetikum

Wagner   membagi kerusakan integritas ( gangren ) menjadi 5 tingkatan , yaitu :

a.     Derajat 0 : tidak ada lesi terbuka, kulit masih utuh dengan kemungkinan disertai kelainan bentuk kaki seperti “ claw ,callus”

b.     Derajat 1 : ulkus superfisial terbatas pada kulit

c.     Derajat 2 : ulkus dalam menembus tendon dan tulang

d.     Derajat 3 : abses dalam, dengan atau tanpa osteomeilitis

e.     Derajat 4 : gangren jari kaki atau bagian distal kaki dengan atau tanpa selulitis

f.      Derajat 5 : gangren seluruh kaki atau sebagian tungkai (Hajma & Hidayah Karuniawati, 2017)

3.     Anatomi  dan Fisiologi sistem intergumen

a.               Struktur Kulit

Sumber : (Kalangi, 2013)

a)     Epidermis (Kulit Ari)   

Lapisan paling luar terdiri atas lapisan epitel gepeng. Unsur utamanya adalah sel-sel keratinosit dan sel melanosit. Lapisan epidermis akan tumbuh terus menerus. Hal tersebut dikarenakan lapisan sel induk yang berada di lapisan bawah terus-menerus bermitosis, sekadangkan lapisan terluar dari epidermis akan terkelupas dan gugur. Siklus pengelupasan yang terjadi dikarenakan lapisan induk yang terus bermitosis terjadi selama 6-8 minggu. Epidermis (kulit ari) terdiri dari beberapa lapis sel. Sel-sel ini berbeda tingkat pembelahan sel secara mitosis. Lapisan permukaan dianggap sebagai akhir keaktifan sel, lapisan tersebut terdiri atas lima lapis yakni:

a)    Stratum Korneum:

lapisan ini terdiri atas banyak lapisan sel tanduk, gepeng, kering, dan tidak berinti. Sitoplasmanya diisi dengan serat keratin, makin ke luar letak sel makin gepeng seperti sisik lalu terkelupas dari tubuh. Sel yang terkelupas akan digantikan oleh sel lain. Zat tanduk merupakan keratin lunak yang susunan kimianya berada dalam sel-sel keratin keras. Lapisan tanduk hampir tidak mengandung air karena adanya penguapan air, elastisnya kecil, dan sangat efektif untuk pencegahan penguapan air dari lapisan yang lebih dalam.

b)    Stratum lusidium: lapisan ini terdiri atas beberapa lapis sel yang sangat gepeng dan bening. Membran yang membatasi sel-sel tersebut sulit terlihat sehingga lapisannya secara keseluruhan seperti kesatuan yang bening. Lapisan ini ditemukan pada daerah tubuh yang berkulit tebal seperti telapak kaki dan telapak tangan.

c)    Stratum granulosum: lapisan ini terdiri atas 2-3 lapis sel poligonal yang agak gepeng dengan inti di tengah dan sitoplasma berisi butiran (granula) keratohialin atau gabungan keratin dengan hialin. Lapisan ini menghalangi masuknya benda asing, kuman, dan bahan kimia masuk ke dalam tubuh.

d)    Stratum spinosum:

lapisan ini terdiri atas banyak lapisan sel berbentuk kubus dan poligonal, inti terdapat di tengan dan sitoplasmanya berisi berkas serat yang terpaut pada desmosom (jembatan sel). Desmosom merupakan sel induk epidermis yang banyak terdpat pada membran sel. Sel ini aktif bermitosis sampai orang meninggal. Seluruh sel terikat rapat lewat serat-serat tersebut sehingga secara keseluruhan lapisan sel-selnya berduri. Lapisan ini untuk menahan gesekan dan tekanan dari luar, tebal dan terdapat di daerah tubuh yang banyak bersentuhan atau menahan beban dan tekanan seperti tumit dan pangkal telapak kaki.

e)    Startum malpigi: unsur-unsur lapis taju yang mempunyai susunan kimia yang khas. Inti bagian basal lapis taju mengandung kolestrol dan asam- asam amino. Stratum malpigi merupakan lapisan terdalam dari epidermis yang berbatasan dengan dermis dibawahnya dan terdiri atas selapis sel berbentuk kubus. Diantara sel epidemis terdapat melanosit.

Seperti dipaparkan di awal bahwa jaringan epidermis terdiri dari 80% sel-sel keratin yang memiliki lima lapisan diatas. Dibawah ini akan dipaparkan 20% sel pembentuk epidermis yang didalamnya tidak mengandung sel keratin.

a)     Melanosit

Melanosit adalah sel-sel epidermis yang berasal dari krista neuralis embriologik. Melanosit menghasilkan melanin dan terletak sendirian di dalam lapisan basal, tampak sebagai sel jernih besar. Reaksi dopa yang positif pada adanya enzim jalur tirosin-melanin merupakan cara histokimiawi untuk mengidentifikasi           melanosit. Melanosit  memiliki          tonjolan           dendrit yang bercabang di dalam epidermis dan memindahkan melanin ke keratinosit.

Melanosit dapat dikenali pada mikroskop elektron dengan adanya melanosom, yang merupakan struktur elips terikat membran yang berisi lamela internal konsentrik. Pewarnaan yang positif untuk protein S100 antigen melanosom (HMB45) berguna sebagai penanda imunohistok untuk melanosit. Jumlah melanosit di dalam kulit relatif tetap. Pigmentasi kulit bergantung pada kecepatan sintesis melanin, yang diatur oleh faktor rasial (lebih besar pada ras berkulit gelap), radiasi ultraviolet yang meningkatkan sintesis melanin, dan hormon (hormon perangsang melanosit dan adrenokortikon meningkatkan pigmentasi melanin).

Ada hubungan yang penting dan memiliki interaksi fungsional antara keratinosit dan melanosit yang bergantung selama proses diferensiasi. Sekitar 35-36 basal dan supra basal keratinosit diperkirakan berdampingan secara fungsional dengan masing-masing melanosit pada epidermal melanin. Dalam hal ini, jumlah pengiriman pigmen melanosit untuk keratinosit berkaitan. Akibatnya, pigmen didistribusikan ke seluruh lapisan basal pada tingkat yang lebih rendah. Lapisan yang lebih dangkal yang berfungsi untuk melindungi kulit dengan menyerap dan menyebarkan radiasi yang berpotensi membahayakan.

Distribusi melanosom dalam keratinost bervariasi tergantung dengan rasnya. Melanosom dalam keratinosit terdegradasi oleh enzim lisosom sebagai sel pembeda dan naik ke atas. Beberapa melanosom mungkin masih diakui dalam stratum korneum, tetapi biasanya sudah tidak lagi tertutup oleh membran.

b)    Sel-sel Langerhans: Non Keratinosit yang terletak pada Suprabasal Lapisan Epidermis

Sel-sel Langerhans adalah sel-sel dendrit jernih yang terletak diantara sel-sel startum spinosum. Sel-sel ini dianggap sebagai sel yang memproses antigen. Pada penelitian imunohistokimia, sel ini positif S100 protein. Pada mikroskop elektron, sel-sel ini kekurangan melanosom, tetapi mengandung organel khas yang disebut granula birbeck.

Sel-sel langerhans adalah sel utama dalam epidermis yang bertanggung jawab untuk pengenalan, penyerapan, pengolahan dan penyajian antigen larut yang peka terhadap limfosit T.19 Sel langerhans terlibat dalam mekanisme patologis yang mendasari dermatitis kontak alergi, kulit leishmaniasis, dan infeksi virus human immunodeficiency. Jumlah sel langerhans akan berkurang dalam epidermis ketika seseorang mengidap penyakit tertentu seperti psoriasis, sarkoidosis, dan dermatitis kontak. Sel langerhans juga berkurang ketika ada gangguan fungsional oleh radiasi ultraviolet. Setelah terkena radiasi ultraviolet, kemampuan sel langerhans akan menurun untuk menyajikan antigen. Sehingga hal tersebut akan berdampak pada sistem pengawasan kekebalan manusia.

c)    Sel-sel Merkel

Sel-sel merkel adalah sel-sel neuron-endokrin yang terdapat di dalam lapisan basal epidermis. Sel-sel ini tidak dapat dikenali dengan potongan histologik rutin, tetapi dapat diidentifikasi pada mikrograf elektron dengan adanya granul neurosekretorik sitoplasmik.

b)    Penghubung Dermis dan Epidermis

  Penghubung dermis-epidermis adalah zona membran dasar yang membentuk antarmuka antara epidermis dan dermis. Fungsi utamanya adalah untuk mempertemukan epidermis dan dermis antara satu sama lain serta untuk memberikan perlawanan terhadap gaya geser dari luar. Penghubung ini juga berfungsi sebagai epidermis, menentukan polaritas pertumbuhan, mengarahkan organ sitoskeleton di sel basal, dan menyediakan sinyal perkembangan. Struktur dari dermis-epidermis ini hampir seluruhnya terbuat dari keratinosit basal dengan sedikit campuran dari fibroblas dermis.

c)     Dermis (Kulit Jangat)

 batas dermis sangat suli ditentukan karena menyatu dengan lapisan subkutis (hipodermis), ketebalannya antara 0,5-3 mm, beberapa kali lebih tebal dari epidermis, dan dibentuk dari komponen jaringan pengikat. Derivat dermis terdiri atas bulu, kelanjar minyak, kelenjar lendir, dam kelenjar keringat yang membenam jauh ke dalam dermis. Dermis bersifat ulet dan elastis yang berguna untuk melindungi bagian yang lebih dalam. Pada perbatasan antara epidermis dan dermis terdapat tonjolan-tonjolan kulit ke dalam epidermis yang disebut papil kulit jangat. Kulit jangat terdiri atas serat-serat kolagen, serabut-serabut elastis, dan serabut-serabut retikulin. Serat-serat ini bersama pembuluh darah dan pembuluh getah bening membentuk anyaman-anyaman yang memberikan pendarahan untuk kulit.

Lapisan kulit dalam (dermis) mengandung jaringan ikat, kelenjar sebasea dan beberapa folikel rambut. Jaringan tersebut menyatu di bawahnya dengan jaringan subkutan yang mengandung lemak, kelenjar keringat dan sisa folikel rambut. Di dalam dermis juga terdapat pembuluh darah. Pembuluh darah ini fungsinya tidak hanya menyehatkan sel-sel di kulit, tetapi juga membantu mengontrol suhu pada tubuh dan memberikan variasi pada warna kulit. Kulit yang berwarna merah bisa jadi disebabkan oleh demam, sinar matahari, atau peradangan. Kulit yang berwarna biru mungkin disebabkan oleh peningkatan jumlah atas berkurangnya hemoglobin sekunder terhadap hiposika. Kulit yang berwarna kuning bisa saja disebabkan oleh meningkatnya kadar bilirubin dalam darah. Warna kulit yang pucat disebabkan oleh menurunnya aliran darah atau menurunya jumlah oksihemoglobin (hemoglobin yang mengandung oksigen).

Setidaknya letak saraf-saraf yang berfungsi sebagai sensorik terletak pada dermis. Dalam dermis terdapat ujung saraf bebas yang sebagian besar berfungsi sebagai sensor. Saraf ini memberikan variasi sensasi yang berbeda yang mana dalam kulit mampu merasakan sensani sentuhan, panas, dingin, dan sakit. Saraf ini juga menyadarkan individu agar berkontraksi dengan lingkungan sekitar. Tetapi ujung saraf ini dapat diberhentikan sementara fungsinya dengan menggunakan obat analgesik yakni sejenis obat bius yang biasa digunakan dalam pembedahan agar pasien tidak merasakan sakit.

Dalam dermis, setidaknya ada dua lapisan yakni sebagai berikut:

a)    Lapisan papilia

Lapisan ini mengandung lekuk-lekuk papilia sehingga stratum malpigi juga ikut melekuk. Lapisan ini mengandung lapisan pengikat longgar yang membentuk lapisan bunga karang yang diebut lapisan startum spongeosum.

Lapisan papila terdiri atas serat kolagen halus, elastin dan retikulin yang tersusun membentuk jaring halus yang terdapat dibawah epidermis. Lapisan ini memegang peranan penting dalam peremajaan dan penggandaan unsur-unsur kulit. Serat retulin dermis membentuk alas dari serabut yang masuk ke dalam membran basal di bawah epidermis.

b)    Lapisan Retikulosa

Lapisan retikulosa mengandung jaringan pengikat rapat dan serat kolagen. Sebagian besar lapisan ini tersusun bergelombang, mangandung sedikit serat retikulin, dan banyak serat elastin. Sesuai dengan arah jalan serat-serat tersebut terbentuklah garis ketegangan kulit.

Bahan dasar dermis merupakan bahan matrik amorf yang membenam pada serat kolagen dan elastin. Turunan kulit glikosaminoglikans utama kulit adalah asam hialuronat dan dermatan sulfat dengan perbandingan yang beragam di berbagai tempat, bahan dasar ini bersifat sangat hidro filik. Lapisan ini terdiri atas anyaman jaringan ikat yang lebih tebal dan didalamnya ditemukan sel-sel fibrosa, sel histiosit, pembuluh darah, pembuluh getah bening, saraf, kandung rambut kelenjar sebasea, kelenjar keringat, sel lemak, dan otot penegak rambut

Didalan dermis juga terdapat unsur-unsur utama pembentuk dermis yakni fibroblast dan makrofag, juga terdapat sel lemak yang berkelompok. Selain juga sel jaringan ikat bercabang dan berpigmen pada lingkungan epidermis yang banyak mengandung pigmen. Selain itu dalam dermis juga ditemukan serat otot polos yang tersusun membentuk berkas dihubungkan dengan folikel rambut. Serat ini bertebaran di seluruh dermis dalam jumlah yang cukup banyak pada kulit. Kontraksinya menyebabkan kulit daerah yang bersangkutan mengerut. Di dalam kulit kulit muka dan leher sejumlah serat otot rangka berakhir pada jalinan serat elastin halus pada dermis.

d)   Hipodermis

Hipodermis adalah lapisan bawah kulit (fasia superfisialis) yang terdiri atas jaringan pengikat longgar, komponen serat longgar, elastis dan sel lemak. Sel-sel lemak membentuk jaringan lemak pada lapisan adiposa yang terdapat pada susunan lapisan subkutan untuk menentukan mobilitas kulit diatasnya. Bila terdapat lobulus lemak yang merata, hipodermis membentuk bantal lemak yang disebut pannikulus adiposus. Pada daerah perut, lapisan ini dapat mencapai ketebalan tiga cm, sedangkan pada kelopak mata, penis dan skrotum lapisan subkutan tidak mengandung lemak. Bagian superfisial hipodermis mengandung kelenjar keringat dan folikel rambut. Dalam lapisan hipodermis terdapat anyaman pembuluh arteri, pembuluh vena, dan anyaman saraf yang berjalan sejajar dengan permukaan kulit dibawah dermis. Lapisan ini mempunyai ketebalan bervariasi dan mengikat kulit secara longga terhadap jaringan di bawahnya. Batas khusus yang tampak kasar di sepanjang permukaannya, ditempat saluran keluar dengan epidermis saluran kehilangan dinding dan menjadi saluran khusus melewati epitel  (Irwin, 2003), .

Secara fungsional kelenjar ini berperan dalam pengaturan suhu tubuh dengan membuat lapisan lembab di permukaan untuk pendinginan dengan penguapan. Kelenjar ini juga peka terhadap stres kejiwaan terutama kelenjar yang terdapat pada telapak tangan dan telapak kaki. Kelenjar keringat besar yang terdapat pada ketiak, areola mamae, labium mayus, dan sekitar anus menghasilkan sekret lebih kental daripada kelenjar keringat kecil.

Saluran keluar dari kelenjar ini bermuara dalm folikel rambut. Kelenjar keringat besar ini kurang bergelung, lumen sekresinya lebih besar, dan membentuk lapisan yang lebih sempurna di antara membran sel dan sel epitel, yang berfungsi hanya setelah pubertas. Kelenjar penggetah lilin yaitu kelenjar serumen yang terdapat pada liang telinga luar dan kelenjar pada tepi kelopak mata termasuk dalam golongan kelenjar keringat besar.

e)     Saraf Kulit

Kulit dan kelengkapannya menerima rangsangan dari lingkungannya karena dilengkapi banyak saraf sensorik. Di dalam jaringan subkutan terdapat berkas besar serat saraf yang cabang-cabangnya menuju beberapa pleksus di dalam daerah retikular papilar dan subepitel. Didalam semua lapisan kulit dan hipodermis terdapat banyak badan akhir sel saraf. Folikel rambut dipersarafi secara terpisah dari ujung-ujung bebas saraf sensoris tidak bermielin yang terdapat di dalam atau dekat epidermis, selain serat saraf sensorik terdapat saraf eferen simpatis yang mempersarafi pembuluh darah, otot penegak rambut, dan sel-sel sekretorik kelenjar keringat     

Jaringan saraf kulit mengandung sensor somatik dan serat simpatik otonom. Sensor fiber (ujung saraf bebas) atau dalam hubungannya dengan  struktur yang spesial (reseptor korpuskula) memiliki fungsi pada setiap titik di tubuh sebagai reseptor sentuhan, rasa sakit, suhu, gatal, dan rangsangan mekanik. Ketebalan dan jenis dari reseptor tersebut pada umumnya berbeda-beda sehingga perhitungan untuk variasinya berbeda-beda dalam tubuh tergantung pada lokasinya. Reseptor tersebut sangat tebal pada bagian-bagian tertentu seperti pada areola dan labia(Syaifudin, 2009).

Saraf sensor secara umum menyediakan beruas-ruas kulit, namun ada beberapa batas yang tidak tepat dan menyebabkan persarafan tumpang tindih pada bagian tertentu. Persarafan otonom tidak mengikuti pola yang sama secara persis karena serat postganglionik didistribusikan pada kulit berasal dari rantai ganglia simpatik dimana serat preganglionik berbeda dari beberapa saraf spinal sinaps(Syaifudin, 2009).

Ujung saraf bebas merupakan saraf yang paling lebar dan merupakan reseptor sensorik yang paling penting bagi tubuh. Ujung saraf bebas secara umum dapat ditemukan di dermis papilia yang letaknya tepat dibawah epidermis, pada serat lamina basal yang bergabung dengan lamina densa dari zona dasar membran(Syaifudin, 2009).

Reseptor kospuskular ini memiliki kapsul dan di dalam intinya mengandung saraf-saraf dan komponen non saraf. Kapsul ini merupakan kelanjutan dari perineurium, dan intinya terdapat serat yang dibungkus oleh sel schwann. Ukuran reseptor ini tergantung pada posisinya pada kulit. Semakin dalam letaknya pada kulit maka ukurannya semakin besar. Untuk jenis dan pada usia tertentu, reseptor ini akan terus berubah sepanjang hidup individu tersebut

Secara mekanik, dengan adanya saraf pada kulit yang berfungsi sebagai reseptor manusia bisa merasakan sensasi suhu. Manusia bisa membedakan suhu mulai dari yang sangat ekstrim (sekitar -10o C) hingga yang cukup panas (sekitar 60o C). Pada manusia kesensitifan termal berbeda antar masing-masing individu sesuai dengan rentang temperatur yang berbeda yang hal ini disajikan dalam neuron sensorik pada kulit. Bagian inilah yang sangat penting dalam tubuh manusia untuk sebagai reseptor atas keadaan lingkungan yang kemudian di terjemahkan sebagi suatu perasaan oleh kulit

2.       Fungsi Kulit

                   Secara detail kulit berfungsi sebagai:

1)    Melindungi kulit dari efek luar seperti lecet, kehilangan cairan, zat-zat berbahaya, radiasi ultraviolet, dan serangan mikroorganisme

2)    Mencegah dehidrasi ketika terkena luka bakar

3)    Mengatur kalor melalui penguapan keringat atau melalui pelebaran dan penyempitan pembuluh darah

4)    Merasakan sensasi rasa (misal nyeri) dengan saraf dangkal dan ujung saraf sensoris

5)    Penyimpanan vitamin D

6)    Meminimalisir cedera organ dalam

7)    Mencegah penguapan cairan tubuh yang berlebihan

8)    Memfilter masuknya sinar matahari yang berlebih  

 

2.     Penyebab Ulkus Diabetikum

Faktor – faktor yang berpengaruh atas terjadinya kerusakan integritas jaringan dibagi menjadi faktor eksogen dan endogen.

a.               Fakor Endogen : genetik metabolik, angiopati diabetik, neuropati diabetik.

b.              Faktor Eksogen : trauma, infeksi, obat.

Faktor yang berperan dalam timbulnya ulkus diabetikum angiopati, neuropati, dan infeksi. Adanya neuropati perifer akan menyebabkan hilang atau menurunnya sensasi nyeri pada kaki, sehingga akan mengalami taruma tanpa terasa yang mengakibatkan terjadinya ulkus pada kaki gangguan motorik juga akan mengakibatkan terjadinya atrofi pada kaki sehingga merubah titik tumpu yang menyebabkan ulserasi pada kaki klien. Apabila subatan darah terjadi pada pembuluh darah yang lebih besar maka penderita akan mersa sakit pada tungkai sesudah ia berjalan pada jarak tertentu. Adanya angiopati tersebut akan menyebabkan penurunan asupan nutrisi, oksigen serta antibiotika sehingga menyebabkan terjadinya luka yang sukar sembuh (Smeltzer & Bare, 2014)

Infeksi sering merupakan komplikasi yang menyertai ulkus diabetikum akibat berkurangnya aliran darah atau neuropati, sehingga faktor angiopati dan infeksi berpengaruh terhadap penyembuhan ulkus diabetikum  (Smeltzer & Bare, 2014).

4.     Patofisiologi Ulkus diabetikum

Terjadinya masalah kaki diawali dengan adanya hiperglikemia pada penyandang DM yang menyebabkan kelainan neuropati dan kelainan pembuluh darah. Neuropati, baik neuropati sensorik maupun motorik dan autonomik akan mengakibatkan berbagai perubahan pada kulit dan otot yang kemudian menyebabkan terjadinya perubahan distribusi tekanan pada telapak kaki dan selanjutnya akan mempermudah terjadinya ulkus. Adanya kerentanan terhadap infeksi yang luas. Faktor aliran darah yang berkurang akan lebih lanjut menambah rumitnya pengelolaan kaki diabetic

Ulkus diabetikum terdri dari kavitas sentral biasanya lebih besar dibanding pintu masuknyadikelilingi kalus keras dan tebal. Awalnya proses pembentukan ulkus berhubungan dengan hyperglikemia yang bersfek terhadap saraf perifer, kolagen, keratin dan suplai vaskuler. Dengan adanya tekanan mekanik terbentuk keratin keras pada daerah kaki yang mengalami beban terbesar . neuropati sensori perifer memungkinkan terjadinya trauma berulang mengakibatkan terjadinya kerusakan area kalus. Selanjutnya terbentuk kavitas yang membesar dan akhirnya rupture sampai pada permukaan kulit menimbulkan ulkus. Adanya iskemia dan penyembuhan luka yang abnormal menghalangi resolusi mikroorganisme yang masuk mengadakan kolonisasi didaerah ini. Dainase yang in adekuat menimbulkan closed space infection. Akhirnya sebagai konsekuensi sistim imun yang abnormal bakteri sulit dibersihkan dan infeksi menyebar ke jaringan sekitarnya.

Penyakit neuropati dan vaskuler adalah faktor utama yang mengkontribusi terjadinya luka. Masalah luka yang terjadi pada pasien dengan diabetik terkait dengan adanya pengaruh pada saraf yang terdapat di kakiyang biasanya disebut neuropati perifer. Pada pasien dengan diabtik seringkali mengalami gangguan pada sirkulasi. Ganguan sirkulasi inlah yang menyebabkan kerusakan pada pada saraf. Hal ini terkait dengan diabetik neuropatik yang berdampak pada sitim saraf autonom yang mengontrol fungsi otot – otot halus, kelenjar dan organ visceral (Wijaya, 2013)

Dengan adanya gangguan pada saraf perifer autonom pengaruhnya adalah terjadinyaperubahan tonus otot yang menyebabkan abnormalnya aliran darah dengan demikian kebutuhan nutrisi dan oksigen maupun pemberian antibotic tidak mencukupi atau tidak dapat mencapai jaringan perifer, juga tidak memenuhi kebutuhan metabolisme pada lokasi tersebut. Efek pada autonom pengaruhnya adalah terjadinya perubahan tonus otot yang menyebabkan abnormalnya lairan darah. Dengan demikian kebutuhan akan nutrisi dan oksigen mauoun pemberian antibotic tidak mencukupi atau tidak dapat mencapai jaringan perifer, juga tidak memenuhi kebutuhan metabolisme pada lokasi tersebut. Efek autonom neuropati ini akan menyebakan kulit menjadi kering ( antihidrotis ) yang memudahkan kulit menjadi rusak yang akan mengkontribusi terjadinya gangren. Dampak lain adalah adanya neuropati yang mempengaruhi pada saraf sensori dan sistem motor yang menyebakan hilangnya sensasi nyeri, tekanan dan perubahan temperatur (Wijaya 2013 )

5.     Tanda dan Gejala Ulkus Diabetikum

 gangren diabetik akibat mikroagiopatik disebut juga gangren panas karena walaupun nekrosis daerah akral itu tampak merah dan terasa hangat oleh peradangan dan biasanya terabapulsasi arteri dibagian distal. Biasanya terdapat ulkus diabetik pada telapak kaki. Proses mikro angiopatik menyebabkan sumbatan pembuluh darah sedangkan secara akut emboli akan memberikan gejala klinis 4P yaitu :

a.            Pain (nyeri)

b.           Paleness (kepucatan)

c.            Parethesia (parestesia dan kesemutan)

d.           Paralysis ( lumpuh)

Bila terjadi sumbatan kronik akan timbul gambaran klinis :

                            Sumber : (Kompasiana.com, 2016)

a.            Staduim I : asimtomatis atau gejala tidak khas (kesemutan)

b.           Stadium II : terjadi klaudikasio intermiten

c.            Stadium III : timbul nyeri saat istirahat

d.           Stadium IV : terjadinya kerusakan jaringan karena anoksia (ulkus) (Smeltzer& Bare, 2014).

6.     Penatalaksanaan Ulkus Diabetikum

Ada beberapa penatalaksanaan pada pasien ulkus diabetikum, antara lain :

a.     Pengobatan

Pengobatan dari gangren diabetik sangat dipengaruhi oleh derajat dan dalamnya ulkus, apabila dijumpai ulkus yang dalam harus dilakukan pemeriksaan yang seksama untuk menentukan kondisi ulkus dan besar kecilnya debridement yang akan dilakukan. Dari penatalaksanaan perawatan luka diabeti ada beberapa tujuan yang ingin dicapai antara lain:

1)    Mengurangi atau menghilangkan faktor penyebab

2)    Optimalisasi    suasana            lingkungan      luka     dalam  kondisi lembab

3)    Dukungan kondisi klien atau host ( nutrisi, control diabetes melitus dan control faktor penyerta )

4)    Meningkatkan edukasi klien dan keluarga

b.       Perawatan luka diabetik

1)      Mencuci luka

Merupakan hal pokok untuk meningkatkan, memperbaiki dan mempercepat proses penyembuhan luka serta menghindari kemungkinan terjadinya infeksi. Proses pencucian luka bertujuan untuk membuang jaringan nekrosis, cairan luka yang berlebihan, sisi balutan yang digunakan dan sisa metabolik tubuh pada permukaan luka.

2)    Debridement

Debridement adalah pembuangan jaringan nekrosis atau slough pada luka. Debridement dilakukan untuk menghindari terjadinya infeksi atau selulitis, karena jaringan nekrosis selalu berhubungan dengan adanya peningkatan jumlah bakteri.

3)    Terapi antibiotikka

Pemberian antibiotic biasanya diberi peroral yang bersifat menghambat kuman garam positi fan gram negatif.

4)    Nutrisi

Faktor nutrisi merupakan salah satu faktor penting yang berperan dalam penyembuhan luka. Penderita ganggren diabetik biasanya diberikan diet B1 dengan gizi : yaitu 60% kalori karbohidrat, 20 % kalori lemak, 20 % kalori protein.

c.     Pemeriksaan diagnostic

pemeriksaan diagnostik pada ulkus diabetikum adalah:

1)            Pemeriksaan fisik

a)  Inspeksi

Denervasi kulit menyebabkan produktifitas keringat menurun, sehingga kulit kaki kering, pecah, rabut kaki, atau jari kaki (-), kalus, claw toe. Ulkus tergantung saat ditemukan (0-5).

b)  Palpasi

1)  Kulit kering, pecah-pecah, tidak normal

2)  Klusi arteri dingin, pulsasi (-)

3)  Ulkus : kalus keras dan tebal

2)            Pemeriksaan radiologis : ga s subcutan, benda asing, asteomielitis

3)            Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah :

a)    Pemeriksaan darah meliputi : GDS > 200mg/dl, gula darah puasa . 120mg/dl dan dua jam post prandial >200 mg/dl

b)    Urine

Pemeriksaan didapatkan adanya glukosa dalam urine. Pemeriksaan dilakukan dengan cara benedct ( reduksi ). Hasil dapat dilihat memalui perubahan warna urine ( hijau , kuning, merah , dan merah bata )

c)    Kultur pus

Mengetahui jenis kuman pada luka dan memberikan antibiotic  yang sesuai dengan jenis kuman (Smeltzer& Bare, 2014).

 

B.                    KONSEP KELUARGA

1.              Definisi

  keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih yang bergabung karena hubungan darah, perkawinan atau adopsi hidup dalam satu rumah tangga, saling berinteraksi satu sama lainnya dalam perannya dan menciptakan dan mempertahankan suatu budaya  (Susanto, 2012) 

2.                     Tipe atau Bentuk Keluarga

a)  Tradisional

1)           The Nuclear Family (Keluarga Inti)

Keluarga yang terdiri dari suami, istri dan anak.

2)           The Dyad Family (Keluarga tanpa anak)

Keluarga yang terdiri dari suami dan istri (tanpa anak) yang hidup bersama dalam satu rumah.

3)            Keluarga Usila

Keluarga yang terdiri dari suami dan istri yang sudah tua dengan anak sudah memisahkan diri.

4)            The Childless Family

Keluarga tanpa anak karena terlambat menikah dan untuk mendapatkan anak terlambat waktunya yang disebabkan karena mengejar karir/pendidikan yang terjadi pada wanita.

5)            The Extended Family

Keluarga yang terdiri dari tiga generasi yang hidup bersama dalam satu rumah seperti nuclear family disertai paman, tante, orang tua (kakek nenek) dan keponakan.

6)            Commuter Family

Kedua orang tua bekerja di kota yang berbeda, tetapi salah satu kota tersebut sebagai tempat tinggal dan orang tua yang bekerja di luar kota biasa berkumpul dengan anggota keluarga pada saat akhir pekan atau pada waktu- waktu tertentu.

7)            The Single Parent Family

Keluarga yang terdiri dari satu orang tua (ayah atau ibu) dengan anak.

8)            Multigenerational Family

Keluarga dengan beberapa generasi atau kelompok umur yang tinggal bersama dalam satu rumah.

9)            Kin-network Family

Beberapa keluarga inti yang tinggal dalam satu rumah atau saling berdekatan dan saling menggunakan barang-barang dan pelayanan yang sama. Contoh : Dapur, kamar mandi, telepon dan lain-lain.

10)      Blended Family

Duda atau janda karena perceraian yang menikah kembali dan membesarkan anak dari hasil perkawinan atau hasil perkawinan sebelumnya.

11)      The Single Adult Family

Keluarga yang terdiri dari orang dewasa yang hidup sendiri karena pilihannya atau perpisahan (separasi) seperti : perceraian atau ditinggal mati

b)    Non Tradisional

1)           The Unmarried Teenage Mother

Keluarga yang terdiri dari orang tua (terutama ibu) dengan anak dari hubungan tanpa menikah.

2)           The Step-parent Family

Keluarga dengan orang tua tiri.

3)           Commune Family

Beberapa pasangan keluarga (dengan anaknya) yang tidak ada hubungan saudara yang hidup bersama dalam satu rumah. Sosialisasi anak dengan aktivitas kelompok/membesarkan anak bersama.

4)           The Nonmarital Heterosexual Cohabiting Family

Keluarga yang hidup bersama berganti-ganti pasangan tanpa melalui pernikahan.

5)           Gay and Lesbian Family

Seseorang yang mempunyai persamaan orientasi seksual hidup bersama sebagaimana ‘marital partners’.

6)           Cohabitating Family

Orang dewasa yang hidup bersama diluar ikatan perkawinan karena beberapa alasan tertentu.

7)           Group Network Family

Keluarga inti yang dibatasi oleh aturan/nilai-nilai, hidup berdekatan satu sama lain dan saling menggunakan barang-barang rumah tangga bersama, pelayanan dan bertanggung jawab membesarkan anaknya.

8)           Foster Family

Keluarga menerima anak yang tidak ada hubungan keluarga/saudara sementara waktu, pada saat orang tua anak tersebut perlu mendapatkan bantuan untuk menyatukan kembali keluarga aslinya.

9)           Homeless Family

Keluarga yang terbentuk dan tidak mempunyai perlindungan yang permanen karena krisis personal yang dihubungkan dengan keadaan ekonomi dan atau problem kesehatan mental.

10)      Gang

Sebuah bentuk keluarga yang destruktif dari orang-orang muda yang mencari ikatan emosional dan keluarga yang mempunyai perhatian tetapi berkembang dalam kekerasan dan kriminal dalam kehidupannya ( Susanto (2012).

3.          Struktur Keluarga

struktur keluarga antara lain:

a)      Struktur Peran Keluarga

Peran didasarkan pada preskripsi dan harapan peran yang menerangkan apa yang individu-individu harus lakukan dalam suatu situasi tertentu agar dapat memenuhi harapan-harapan mereka sendiri atau harapan orang lain yang menyangkut peran-peran tersebut

b)      Sistem Nilai dalam Keluarga

Nilai-nilai keluarga didefinisikan sebagai suatu sistem ide, sikap dan kepercayaan tentang nilai suatu keseluruhan atau konsep yang secara sadar maupun tidak sadar mengikat bersama-sama seluruh anggota keluarga dalam suatu budaya yang lazim.

c)      Pola dan Proses Komunikasi

Komunikasi merupakan suatu proses simbolik, transaksional untuk menciptakan dan mengungkapkan pengertian dalam keluarga.

d)      Struktur Kekuasaan dalam Keluarga

Kekuasaan keluarga sebagai sebuah karakteristik dari sistem keluarga adalah kemampuan, baik potensial maupun aktual dari seorang individu untuk mengubah tingkah laku anggota keluarga

c)      Fungsi Keluarga

Fungsi keluarga adalah :

1)  Affection

Menciptakan suasana persaudaraan/ menjaga perasaan.

2)  Melepas anggota.

3)  Controls

4)  Mempertahankan kontrol sosial.

5)  Adanya pembagian kerja   (Susanto, 2012)

A.   Konsep Asuhan Keperawatan Keluarga

Sebagai sebuah proses, keperawatan keluarga membutuhkan berbagai tahapan yang harus dilalui. Tahapan ini harus dilakukan secara runut dan sistematis sehingga tidak ada satu poin pun terlewatkan. Kesalahan pada satu tahap akan berdampak pada hasil yang tidak tepat, hal ini bukan menyelesaikan masalah, tetapi justru akan menambah masalah.(Loihala, 2020). Dalam memberikan asuhan keperawatan keluarga, terdapat beberapa poin yang digunakan yaitu :

1.     Pengkajian

Pengkajian adalah suatu tahapan dimana seseorang perawat mengambil informasi secara terus menerus terhadap anggota keluarga yang dibina. Untuk mendapatkan data pengkajian yang akurat dan sesuai dengan keadaan keluarga, perawat diharapkan menggunakan bahasa yang di gunakan sehari-hari, lugas dan sederhana.

Asuhan Keperawatan Keluarga menurut teori aplikasi model pengkajian  dalam kasus keluarga dengan penyakit Hipertensi yaitu (Friedman, 2013) :

a.     Data Umum meliputi : Nama kepala keluarga, Usia, Agama, Pendidikan, Pekerjaan, Pendapatan, Alamat.

Tabel 2.3 Data Anggota Keluarga

No

Nama ART

JK

Hub dgn KK

Pendidikan

Pekerjaan

Status Imunisasi

Ket

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

b.     Genogram

Dengan adanya genogram dapat diketahui faktor genetic atau faktor bawaan yang sudah ada pada diri manusia untuk timbul nya penyakit Hipertensi.

c.     Status Sosial Ekonomi

Status sosial ekonomi dapat dilihat dari :

1)    Pendapatan keluarga

2)    Kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan keluarga

Pada pengkajian status sosial ekonomi berpengaruh pada tingkat kesehatan seseorang. Dampak dari ketidakmampuan keluarga membuat seesorang enggan memeriksa diri ke dokter dan fasilitas kesehatan lainnya.

d.     Riwayat kesehatan keluarga

1)    Riwayat masing-masing kesehatan keluarga (apakah mempunyai penyakit keturunan)

2)    Perhatian keluarga terdapat pencegahan penyakit

3)    Sumber pelayanan kesehatan yang biasa digunakan keluarga

4)    Pengalaman terhadap pelayanan kesehatan

e.     Karakteristik Lingkungan

1)    Karakteristik rumah

2)    Tetangga dan komunitas

3)    Geografis keluarga

4)    System pendukung keluarga

f.      Fungsi keluarga

1)    Fungsi afektif

Hal yang perlu dikaji yaitu gambaran dari anggota keluarga, perasaan memiliki dan dimiliki dalam keluarga, dukungan keluarga terhadap anggota keluarga yang sakit, semakin mempercepat kesembuhan dari penyakitnya.

2)    Fungsi perawatan kesehatan

Kesanggupan keluarga untuk melakukan pemeliharaan kesehatan dilihat dari tugas kesehatan yaitu :

a)     Keluarga mengenal masalah kesehatan

b)    Keluarga mampu mengambil keputasan yang tepat untuk mengatasi masalah kesehatan

c)     Keluarga mampu merawat anggota keluarga yang mengalami masalah kesehatan.

d)    Memodifikasi lingkungan menciptakan dan mempertahankan suasana rumah yang sehat.

e)     Keluarga mampu memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang tepat.

3)    Fungsi sosialisasi

Pada kasus penderita hipertensi dapat mengalami fungsi sosial baik di dalam keluarga maupun di dalam komunitas keluarga.

4)    Fungsi reproduksi

5)    Fungsi ekonomi

Secara ekonomi keluarga sangat mendukung terhadap kesembuhan penyakit. Biasanya karena faktor ekonomi rendah individu untuk mencari pertolongan dokter ataupun petugas kesehatan lainnya (Friedman, 2013)

6)    Stress dan koping keluarga

a)     Stressor yang dimiliki

b)    Kemampuan keluarga berespon terhadap stressor

c)     Strategi koping yang digunakan

7)    Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan di mulai dengan menilai keadaan umum, tanda-tanda vital, menilai status mental dan cara berfikir juga menilai langsung sistem atau organ yang berkaitan dengan keluhan klien dengan cara

a)     Inspeksi

b)    Palpasi

c)     Perkusi

d)    Auskultasi

8)    Harapan keluarga

Harapan keluarga perlu dikaji terhadap perawat (petugas kesehatan) untuk membantu penyelesaian masalah kesehatan yang terjadi.

2.     Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan adalah keputusan klinis mengenai individu, keluarga dan masyarakat yang di peroleh dari suatu proses pengumpulan data dan analisis cermat dan sistemis memberikan untuk menetapkan tindakan dimana perawat bertanggung jawab melaksanakannya.

Perumusan diagnosa keperawatan dapat diarahkan pada sasaran individu atau keluarga, komponen diagnose keperawatan meliputi : masalah (problem), penyebab (etiologi) dan atau tanda (sing) sedangkan etiologi mengacu pada 5 keluarga yaitu :

a.     Ketidakmapuan mengenal masalah :

1)    Persepsi terhadap keparahan penyakit

2)    Pengertian

3)    Tanda dan gejala

4)    Faktor penyebab

5)    Persepsi keluarga terhadap masalah

b.     Ketidakmampuan keluarga dalam mengambil keputusan :

1)    Sejauh mana keluarga mengerti mengenai sifat dan luasnya masalah

2)    Masalah di rasakan keluarga/keluarga menyerah terhadap masalah yang dialami

3)    Sikap negative terhadap tenaga kesehatan

4)    Kurangnya percaya terhadap tenaga kesehatan

5)    Informasi yang salah

c.     Ketidakmampuan keluarga merawat anggota keluarga yang sakit :

1)    Bagaimana keluarga mengetahui keadaan sakit

2)    Sifat dan perkembangan perawatan yang dibutuhkan

3)    Sumber-sumber yang ada dalam keluarga

4)    Sikap keluarga terhadap sakit

d.     Ketidakmampuan keluarga mengenal lingkungan :

1)    Keuntungan dan manfaat pemeliharaan lingkungan

2)    Pentingnya hygene sanitas

3)    Upaya pencegahan penyakit

e.     Ketidakmampuan keluarga menggunakan fasilitas kesehatan:

1)    Keberadaan fasilitas lingkungan

2)    Keuntungan yang di dapat

3)    Kepercayaan keluarga terhadap petugas kesehatan

4)    Pengalaman keluarga yang kurang baik

5)    Pelayanan kesehatan yang terjangkau oleh keluarga

            Setelah data analisis dan di tetapkan masalah keperawatan keluarga, selanjutnya masalah kesehatan keluarga yang ada, perlu di prioritaskan bersama keluarga dengan memperhatikan sumber daya dan sumber dana yang dimiliki keluarga.

Tabel  Prioritas Masalah Asuhan Keperawatan Keluarga (Friedman, 1978) sebagai berikut :

No

Kriteria

Skor

Bobot

1.

Sifat masalah Skala: Aktual

Risiko

Keadaan sejahtera/ diagnosis sehat

 

3

2

1

 

 

1

2.

Kemungkinan masalah dapat diubah Skala: Mudah

Sebagian Tidak dapat

 

 

2

1

0

 

 

2

3.

Potensi masalah untuk dicegah Skala : tinggi

Cukup Rendah

 

3

2

1

 

 

1

4.

Menonjolnya masalah

Skala : masalah dirasakan dan harus segera ditangani Ada masalah tetapi tidak perlu ditangani Masalah tidak dirasakan

 

2

1

0

 

 

1

Skoring :

a)   Tentukan skor untuk tiap kriteria

b)  Skor dibagi dengan angka tertinggi dan kalikan dengan nilai bobot

c)   Jumlahkan skor untuk semua mendekati 5, harus diprioritaskan dalam keperawatan.

Rumus = skor/angka tertinggi x bobot

3.     Rencana Asuhan Keperawatan

            Effendi dalam Hamoko (2012), mendefenisikan : rencana keperawatan keluarga adalah sekumpulan tindakan yang ditemukan perawat untuk dilakasankan, dalam menetapkan masalah kesehatan dan keperawatan yang telah di defenisikan.

4.     Implementasi

            Implementasi dapat dilakukan oleh banyak orang seperti klien (individu atau keluarga), perawat dan anggota tim kesehatan yang lain, keluarga luas dan orang-orang lain dalam jaringan kerja sosial keluarga. (Friedman, 2013).

            Sarana dan prasarana baik dalam keluarga atau masyarakat merupakan faktor yang penting dalam perawatan dan pengobatan penyakit. Sarana dalam keluarga dapat berupa kemampuan keluarga menyediakan makanan yang sesuai dan menjadi diet atau kemampuan keluarga, terus menciptakan suasana yang tenang dan tidak memancing kemarahan. Sasaran dari lingkungan adalah terjangkaunya sumber-sumber makanan sehat, tempat latihan, juga fasilitas kesehatan

 

 

5.     Evaluasi

        Evaluasi merupakan tahap integral pada proses keperawatan. Apa kurang dapat ditambahkan, dan apabila mendapati kasus baru dan mampu diselesaikan dengan baik maka hal itu disebut sebagai keberhasilan atau temuan sebuah penelitian.

        Evaluasi bisa dimulai dari pengumpulan data, apakah masih perlu direvisi untuk menentukan apakah informasi yang telah dikumpulkan sudah mencukupi dan apakah perilaku yang diobservasi sudah sesuai. Diagnosa juga perlu dievaluasi dalam hal keakuratan dan kelengkapannya. Tujuan dan intervensi evaluasi adalah untuk menentukan apakah tujuan tersebut dapat dicapai secara efektif  

        Evaluasi dilakukan sesuai dengan rencana tindakan yang telah diberikan, kemudian dilakukan penilaian untuk memperlihat keberhasilannya. Jika tindakan yang dilakukan belu berhasil, maka perlu dicari cara atau metode lainnya. Semua tindakan keperawatan tidak dapat dilaksanakan dalam satu kali kunjungan ke keluarga, melainkan secara bertahap sesuai dengan waktu dan kesediaan keluarga.

        Tahapan ini dapat dilakukan secara formatif dan sumatif. Evaluasi formatif adalah evaluasi yang dilakukan secara proses asuhan keperawatan, sedangkan evaluasi sumatif adalah evaluasi akhir.


DAFTAR PUSTAKA

 

  1. Ackermann, R. T., Kang, R., Cooper, A. J., Liss, D. T., Holmes, A. M., Moran, M., & Saha, C. (2019). Effect on Health Care Expenditures During Nationwide Implementation of the Diabetes Prevention Program as a Health Insurance Benefit. Diabetes Care, 42(9), 1776–1783. https://doi.org/10.2337/dc18-2071
  2. Alam, F., Islam, Md. A., Gan, S. H., & Khalil, Md. I. (2014). Honey: A Potential Therapeutic Agent for Managing Diabetic Wounds. Evidence-Based Complementary and Alternative Medicine : ECAM, 2014. https://doi.org/10.1155/2014/169130
  3. Alexiadou, K., & Doupis, J. (2012). Management of Diabetic Foot Ulcers. Diabetes Therapy, 3(1). https://doi.org/10.1007/s13300-012-0004-9
  4. Al-Waili, N. S. (2004). Topical honey application vs. Acyclovir for the treatment of recurrent herpes simplex lesions. Medical Science Monitor: International Medical Journal of Experimental and Clinical Research, 10(8), MT94-98.
  5. Amelia, R., Wahyuni, A. S., Felicia, R. A. A., & Preveena. (2018). Relationship between family support with quality of life among type 2 diabetes mellitus patients at Amplas primary health care in Medan, Indonesia. Journal of Physics: Conference Series, 1116, 052004. https://doi.org/10.1088/1742-6596/1116/5/052004
  6. Armstrong, D. G., Boulton, A. J. M., & Bus, S. A. (2017). Diabetic Foot Ulcers and Their Recurrence. New England Journal of Medicine, 376(24), 2367–2375. https://doi.org/10.1056/NEJMra1615439
  7. ayu ningsih. (2019). Terapi Madu Pada Penderita Ulkus Diabetikum Honey Therapy In Diabetic Ulcus Patients. http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:hwMYcst3wo8J:juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/medula/article/viewFile/2371/pdf+&cd=2&hl=en&ct=clnk&gl=id
  8. Darliana. (2017). MANAJEMEN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DIABETES MELITUS. II(2).
  9. DEWI, A. F. (2013). ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA BAPAK. K DENGAN FOKUS UTAMA BAPAK. K MENDERITA ULKUS DENGAN RIWAYAT DIABETES MELLITU S DI DESA LEMBERANG RT 05 RW II SOKARAJA – BANYUMAS [Diploma, UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO]. http://repository.ump.ac.id/2266/
  10. Eva Decroli. (2019). DIABETES MELITUS TIPE 2. http://repo.unand.ac.id/21867/1/Buku%20Diabetes%20Melitus%20%28Lengkap%29.pdf
  11. Fauziyah. (2019). 28 PENGARUH TERAPI MADU TERHADAP LUKA DIABETIK PADA PASIEN DENGAN DIABETES MELLITUS TIPE 2 DI RW 011 KELURAHAN PEGIRIAN SURABAYA. http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:yhK5UrdgPU4J:jurnal.stikeswilliambooth.ac.id/index.php/Kep/article/download/156/138/+&cd=10&hl=en&ct=clnk&gl=id
  12. Friedman. (2013). Asuhan Keperawatan Keluarga. EGC.
  13. ghofar. (2015). Pedoman Lengkap Keterampilan Perawatan Klinik. yogyakarta mitra buku 2015.
  14. Hajma, L. P. A., & Hidayah Karuniawati, M. S. (2017). Evaluasi Penggunaan Antibiotik pada Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 dengan Komplikasi Ulkus/Gangren di Instalasi Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi Surakarta Tahun 2015 [S1, Universitas Muhammadiyah Surakarta]. http://eprints.ums.ac.id/48887/10/SURAT%20PERNYATAAN%20PUBLIKASI.pdf
  15. Hariani, L., & Perdanakusuma, D. (2008). PERAWATAN ULKUS DIABETES. 28.
  16. IDF. (2020). Indonesia—International Diabetes federation. https://idf.org/our-network/regions-members/western-pacific/members/104-indonesia.html
  17. Kalangi, S. J. R. (2013). HISTOFISIOLOGI KULIT. JURNAL BIOMEDIK : JBM, 5(3), Article 3. https://doi.org/10.35790/jbm.5.3.2013.4344
  18. Kompasiana.com. (2016). Foto Artikel: Cegah Kecacatan akibat Kaki Diabetes, Mari Gunakan 6 Kendali Ini - Kompasiana.com. KOMPASIANA. https://www.kompasiana.com/image/meldyelfa/cegah-kecacatan-akibat-kaki-diabetes-mari-gunakan-6-kendali-ini_57c5be76ab9273a006a3d709
  19. Langi, Y. A. (2013). PENATALAKSANAAN ULKUS KAKI DIABETES SECARA TERPADU. JURNAL BIOMEDIK (JBM), 3(2). https://doi.org/10.35790/jbm.3.2.2011.864
  20. Lanywati,  dr E. (2016). Diabetes Mellitus, Penyakit Kencing Manis. Kanisius.
  21. Loihala, M. (2020). Hubungan Komunikasi Terapeutik Perawat dengan Tingkat Kecemasan Keluarga Pasien yang Dirawat di Ruangan Hcu Rsu Sele Be Solu Kota Sorong. Jurnal Kesehatan, 7(2), 176–181. https://doi.org/10.26630/jk.v7i2.185
  22. National Diabetes Education Program. (2017). Diabetes foot and skin care. https://www.cdc. gov/diabetes/diabetesatwork/pdfs/diabetesfootandskincare.pdf
  23. Padila. (2012). Buku Ajar: Keperawatan Medikal Bedah.
  24. PERKENI. (2015). KONSENSUS PENGELOLAAN DAN PENCEGAHAN DIABETES MELITUS TIPE 2 DI INDONESIA 2015. https://pbperkeni.or.id/wp-content/uploads/2019/01/4.-Konsensus-Pengelolaan-dan-Pencegahan-Diabetes-melitus-tipe-2-di-Indonesia-PERKENI-2015.pdf
  25. PPNI. (2017). 0115 Manajemen Kesehatan Keluarga Tidak Efektif – SDKI – Standart Diagnosis Keperawatan Indonesia. https://snars.web.id/sdki/0115-manajemen-kesehatan-keluarga-tidak-efektif/
  26. rasyid. (2018). (PDF) LITERATUR REVIEW STUDY LITERATUR: PENGKAJIAN LUKA KAKI DIABETES ABSTRACT Nothing Nothing Conflict of interest: Funding resources. ResearchGate. https://www.researchgate.net/publication/326080291_LITERATUR_REVIEW_STUDY_LITERATUR_PENGKAJIAN_LUKA_KAKI_DIABETES_ABSTRACT_Nothing_Nothing_Conflict_of_interest_Funding_resources
  27. Rohani. (2017). PENGARUH KOMBINASI SENAM DIABETES MELITUS DAN SENAM KAKI DIABETIK TERHADAP PENURUNAN KADAR GULA DARAH PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 ANGGOTA PERSADIA RS HUSADA. http://ejournal.urindo.ac.id/index.php/kesehatan/article/view/42
  28. Rondonuwu, R. G., Rompas, S., & Bataha, Y. (2016). HUBUNGAN ANTARA PERILAKU OLAHRAGA DENGAN KADAR GULA DARAH PENDERITA DIABETES MELLITUS DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS WOLAANG KECAMATAN LANGOWAN TIMUR. 4, 7.
  29. Roza, R. L., Afriant, R., & Edward, Z. (2015). Faktor Risiko Terjadinya Ulkus Diabetikum pada Pasien Diabetes Mellitus yang Dirawat Jalan dan Inap di RSUP Dr. M. Djamil dan RSI Ibnu Sina Padang. Jurnal Kesehatan Andalas, 4(1), Article 1. https://doi.org/10.25077/jka.v4i1.229
  30. Smeltzer & Bare,  bare. (2014). Smeltzer and Bare’s Textbook of Medical-surgical Nursing. Lippincott Williams & Wilkins.
  31. Suciningtyas, P. D. (2017). PROGRAM STUDI KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2017. 22.
  32. Supriyadi. (2017). Panduan Praktis Skrining Kaki Diabetes Melitus. Deepublish.
  33. Susanto. (2012). World Class Family Business—A.B. Susanto—Google Books. https://books.google.co.id/books?id=pJ58TZR40ckC&printsec=frontcover&dq=susanto+AND++keluarga+adalah&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwiZipTgtr_qAhW-6nMBHd1dC3kQ6AEwAHoECAAQAg#v=onepage&q=susanto%20AND%20%20keluarga%20adalah&f=false
  34. Wijaya. (2013). Perawatan Luka Dengan Pendekatan Multidisiplin—Ners. I Made Sukma Wijaya, M.Kep., WOC(ET)N. - Google Books. https://books.google.co.id/books?id=pVJtDwAAQBAJ&pg=PA119&dq=wijaya+2013+AND+ulkus+diabetes&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwjHzo-ctr_qAhUBOisKHUfsBBAQ6AEwAnoECAEQAg#v=onepage&q=wijaya%202013%20AND%20ulkus%20diabetes&f=false

Author Image

About ALVA MUSTAMU
Soratemplates is a blogger resources site is a provider of high quality blogger template with premium looking layout and robust design

Tidak ada komentar: